Kamis, 14 April 2016

Makalah Hadis Dhaif

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang 
Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat rumit dan menyisakan banyak problematika ditengah-tengah umat, juga merupakan bagian dari ilmu yang harus diketahui dan dipelajari oleh segenap kaum muslim, karena dewasa ini banyak kita temukan sekelompok orang yang tidak bisa dikatakan kredibel dalam bidang ilmu ini dengan sangat yakin melontarkan hadits demi hadits untuk menjustifikasi apa yang dia lihat tanpa memperhatikan aspek apa saja yang harus dilalui. Seperti halnya bagian dari pembahasan yang ada di dalam ilmu hadits ini, yaitu hadits dha’if, banyak di antara aliran kepercayaan yang tanpa “tedeng aling-aling” melontarkan pernyataan bahwa hadits dha’if tidak bisa dijadikan hujjah, apapun bentuknya dan apapun kasusnya. Maka dari itu, sangat penting untuk mempelajari hadits dha’if agar tidak mudah terjebak dengan pemahaman-pemahaman yang penuh dengan pertentangan menurut disiplinnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian dari Hadits Dhaif?
2.      Apa saja macam-macam Hadis Dhaif?
3.      Bagaimana kedudukan Hadis Dhaif dalam Agama Islam?
4.      Bagaimana kehujjahan Hadis Dhaif?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Hadits Dhaif?
2.      Untuk mengetahui macam-macam Hadis Dhaif?
3.      Untuk mengetahui kedudukan Hadis Dhaif dalam Agama Islam?
4.      Untuk mengetahui kehujjahan Hadis Dhaif?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN
1.      Hadits Dhaif
Hadits dhaif adalah bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif berarti lemah, lawan dari al-qawi yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Menurut istilah, hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan. Jadi, hadits dhaif adalah hadits yang tidak memuhi sebagian atau semua persyaratan hadits hasan atau shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasil) , para perawinya tidak adil dan tidak dhabit, terjadi keganjilan, baik dalam sanad atau matan (syadz), dan terjadinya cacat yang tersembunyi(‘illat) pada sanad atau matan.
Contoh hadits dhaif yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan Hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “ Barang siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam sanad hadits tersebut terdapat seorang dhaif, yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para ulama. [1]

B.     MACAM-MACAM HADITS DHAIF
1.      Dhaif dari segi sanad atau gugurnya rawi dalam sanad.
Hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanad adalah tidak ada satu, dua atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam sanad, baik para permulaan sanad, pertengahan ataupun akhirnya. Bagian-bagian dari gugurnya rawi dalam segi sanad yaitu:
a)      Hadits Mursal
Hadits Mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in dari Nabi, baik dari perkataan, perbuatan, atau persetujuan tanpa menyebutkan penghubung antara seorang tabi’in dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu seorang sahabat.
Contoh hadits mursal, misalnya: Ibnu Sa’ad berkata dalam Thabaqatnya:
Memberitakan kepada kami Waki’ bin al-Jarrah, memberitakan kepada kami Al-A’masy dari Abu Shalih berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda  yang artinya “ Wahai manusia sesungguhnya aku sebagai rahmat yang dihadiahkan.”
Abu Shalih As-Saman Az-Zayyatseorang Tabi’in, ia menyandarkan berita hadits tersebut dari Nabi tanpa menjelasakn perantara sahabat yang menghubungkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[2]
b)      Hadits Munqathi’ 
Hadits munqathi’ adalah hadits yang sanadnya terputus, artinya seorang perawi tidak bertemu langsung dengan pembawa berita, baik diawal, ditengah atau diakhir sanad, maka masuk didalamnya hadits mursal, mu’allaq, dan mu’dhal. Contoh hadits munqathi’:
Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, Ahmad, dan Al-Bazzar dari Abdul Razzaq dari Ats-Tsauri dari Abu Ishaq dari Zaid bin Yutsai’ dari Hudzaifah secara marfu’ yang artinya, “ Jika engkau serahkan kekuasaan kepada Abu Bakr, dia adalah lelaki yang kuat dan tepercaya.”
Pada sanad hadits diatas ada seorang perawi yang digugurkan, yaitu Syarik yang semestinya menempati posisi antara Ats-Tsauri dan Abu ishaq. Ats-Tsauru menerima hadits bukan dari Abu Ishaq secara langsung, tetapi dari Syarik dan Syarik mendengarnya dari Abu Ishaq.


c)      Hadits Mu’dal
Hadits mu’dal adalah hadits yang gugurnya dua orang perawi terjadi berturut-turut.[3] Contoh hadits mu’dal:
Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Ma’rifah Ulum Al-Hadits yang disan darkan kepada Al-Qo’nabi dari Malik telah sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “ Bagi budak mendapat makanan dan pakaian, ia tidak boleh dibebani kecuali pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan.”
Hadits tersebut mu’dal karena digugurkan dua orang perawi secara berturut-turut antara Malik dan Abu Hurairah, yaitu Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
d)     Hadits Mu’allaq
Hadits mu’allaq adalah hadits yang sanadnya bergantung karena dibuang dari awal sanad seorang perawi atau lebih secara berturut-turut. Dengan demikian hadits mu’allaq bisa jadi yang dibuang semua sanad dari awal sampai akhir. Contoh hadits mu’allaq:
Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori berkata: berkata: memberitakan kepadaku Zaid bin Aslam, bahwa Atha’ bin Yasar memberitahukan kepadanya, bahwa Abu Said Al-Khudri memberitakan kepadanya, bahwa ia mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “ Jika hamba telah masuk islam, kemudian baik islamnya , maka Allah menghapus daripadanya segala kejahatan yang telah lewat. Setelah itu diadakan pembalasan amal, satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali persamaannya sampai seratus kali lipat, sedangkan kejahatan dibalas dengan sesamanya, kecuali Allah mengampuninya.”
Hadits diatas mu’allaq karena Al-Bukhari menggugurkan syaikhnya sebagai penghubung dari Malik dengan menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan, yaitu :    : قال مالك قال   = Ia berkata : Malik berkata...
2.      Dhaif dari segi cacat pada rawi atau matan
Hadits yang cacat pada rawi atau matannya, atau kedua-duanya digolongkan hadits dhaif. Ada berbagai macam cacat yang dapat menimpa para rawi atau matannya, diantaranya pendusta, pernah berdusta, fasiq, dan tidak dikenal atau berbuat bid’ah. Bagian-bagian hadits dhaif dari segi cacat pada rawi atau matan yaitu;
a)      Hadits Munkar
Hadits munkar adalah hadits yang menolak karena adanya periwayat hadits yang sangat lemah daya ingatannya sehingga periwayatannya menyendiri, tidak sama dengan periwayatan orang tsiqah. Contoh hadits munkar:
Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui Usamah bin Zaid Al-Madani dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin ‘Auf dari ayahnya secara marfu’ : yang artinya, “ Seorang puasa Ramadhan dalam perjalanan seperti seorang berbuka dalam tempat tinggalnya.”
Hadits diatas munkar karena periwayatan Usamah bin Zaid Al-Madani secara marfu’ (dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), bertentangan periwayatan Ibnu Abi Dzi’bin yang tsiqah, menurutnya hadits diatas mauquf pada Abdurrahman bin ‘Auf.[4]
b)      Hadits Mu’allal
Hadits mu’allal adalah adanya cacat yang tersembunyi dan cacat itu mengurangi atau menghilangkan keshahihan suatu hadits.
Contoh hadits mu’allal:
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Abu Dawud, dari Qutaibah bin Sa’id, memberitakan kepada kami Abdusslam bin Harb Al-Mala’i dari Al-A’masy dari Anas berkata: yang artinya, “ Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak hajat tidak mengangkat kainnya sehingga dekat dengan tanah.”
Hadits diatas lahirnya shahih karena semua perawi dalam sanad tsiqah, tetapi Al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin Malik. Ibnu Al-Madini mengatakan bahwa Al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin Malik. Dia melihatnya di Mekah shalat dibelakang Maqam Ibrahim.
c)      Hadits Mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian hadits itu. Contoh hadits mudraj;
Kisahnya Tsabit bin Musa ketika bertamu pada Syarik bin Abdullah Al-Qadhi yang sedang menyampaikan periwayatan sanad hadits dengan imlak (dikte).
Memberitakan kepada kami Al-A’masy dari Abu Sufyan dari Jabir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam... ia diam sejenak...karena Tsabit bin Musa datang. Kemudian ia berkata: yang artinya, “ Barang siapa uang banyak shalat pada malam harinya, maka berseri-seri wajahnya pada siang harinya.”
Tsabit menduga bahwa ungkapan tersebut adalah matan dari sanad hadits yang diditekan kepadanya, kemudian ia meriwayatkannya.
d)     Hadits Syadzdz
Hadits syadzdz adalah hadits yang ganjil, karena hanya dia sendiri yang rmeriwayatkannya atau periwayatannya menyalahi periwayatan orang tsiqah atau yang lebih tsiqah.
Contoh hadits syadzdz:
Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan At-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari Al-A’masy dari  Abu Shalih dari Abu Hurairah secara marfu’ (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda): yang artinya, “ Jika telah shalat dua raka”at Fajar salah seorang diantara kamu, hendaklah tiduran pada lambung kanan.”
Al-Baihaqi berkata: Periwyatan Abdul Wahid bin Zayyad adalah syadzdz karena menyalahi mayoritas perawi yang meriwayatkan dari segi perbuatan Nabi, bukan sabda beliau. Abdul Wahid menyendiri diantara para perawi tsiqah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Aisyah: yang artinya, “ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika telah melaksanakan shalat dua raka’at fajar (qobliyat ash-shubuh) tiduran pada lambung sebelah kanan”. [5]

C.     KEDUDUKAN HADIS DHAIF DALAM ISLAM.
Hadis merupakan sumber hukum dalam Islam itu terbagi kepada hadis sahih, hasan, dan dhaif (lemah). Ulama Islam menerima semua hadis sahih dan hasan, dan para ulama Islam tidak menolak seluruh hadis dhaif.  Tapi, para ulama Islam menolak semua hadis yang sangat lemah dan hadis palsu (mudhu). Kedudukan hadis dhaif ini perlu dibahas, agar kita tidak mudah menuduh amalan sebagian umat Islam itu masuk dalam lingkaran bidah (terlarang). 
Pengamalan hadits Dhaif. Mayoritas ulama hadis dan ulama fiqh menggunakan hadits dhaif, selain dalam masalah akidah dan penetapan hukum halal dan haram. Tapi, sebagian ulama hadis juga ada menggunakan hadis dhaif dalam menetapkan hukum, jika tidak ada lagi hadis sahih atau hasan. 
Namun begitu, hadits itu tidak sangat lemah, dan hadis dhaif itu mendapat dukungan dari dalil umum, dan juga tidak diyakini pernyataan hadits itu suatu yang pasti dari Rasulullah SAW (Abu Zakaria al-Nawawi: al-Azkar:1/5). 
Penggunaan ulama hadis dan fiqh akan hadis dhaif itu bisa dilihat dalam sikap mereka menerima hadis mursal, yaitu hadis dari riwayat tabiin (generasi setelah sahabat Nabi) tanpa menyebutkan sahabat.  Dan menurut mereka penggunaan hadis dhaif itu lebih utama daripada menggunakan pendapat akal semata. Bahkan, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, sikap ini merupakan pendapat mayoritas ulama (Ibnu Qayyim al-Jauziyah: Ilam al-Muwaqqiin:1/31).  Misalnya, Imam Abu Hanifah memakai hadits dhaif yang menyatakan mahar itu tidak boleh kurang dari 10 dirham.  Imam malik memakai hadits dhaif dengan sanad Abdullah bin Azam pada larangan memegang Alquran tanpa bersuci. Imam al-Syafii memakai hadits dhaif kebolehan salat di Makkah pada waktu terlarang. Imam Ahmad bin Hanbal memakai hadits dhaif yang menyatakan tiada salat bagi jiran masjid kecuali di masjid.  Bahkan, para ulama juga sepakat menerima hadits dhaif, apabila hadis itu diterima oleh mayoritas umat Islam. Diantaranya, umat Islam sepakat menerima hadis dhaif yang menyatakan tidak boleh memberikan wasiat kepada ahli waris.
Perlu diketahui, pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal bahwa hadis dhaif lebih utama dari pendapat akal itu adalah hadis dhaif menurut penilaian ulama hadis.  Bukan seperti dugaan Imam Ibnu Taimiyah bahwa hadits dhaif menurut Imam Ahmad itu adalah hadits hasan (Ibnu Taimiyah:Majmu al-Fatawa:1/251). Pernyataan Imam Ibnu Taimiyah ini tidak bisa diterima, karena 853 hadis dhaif yang terdapat dalam Musnad Imam Ahmad itu bukan hadis hasan. 
Berdoa Setelah Salat, Menanggapi masalah ini, Rasulullah SAW dalam sebuah hadis hasan, menyatakan doa yang didengar Allah SWT itu adalah doa di akhir malam, dan doa setelah selesai salat wajib. (HR. al-Tirmizi). Rasulullah SAW juga mengatakan, salat malam itu dua rakaat, baca tasyahhud pada tiap dua rakaat, tenang saat berdoa, dan angkat tanganmu (HR. Abu Dawud). Perintah mengangkat tangan ketika berdoa itu sebagai dalil bahwa waktu berdoa itu setelah selesai salat. Karena berdoa ketika salat tidak ada mengangkat tangan (Muhammad Hasyim al-Tattawi al-Sindi: al-Tuhfah al-Marghubah). Namun begitu, Mufti Arab Saudi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan bahwa berdoa dengan mengangkat tangan setelah salat wajib itu adalah bidah dan perkara mungkar (Ibnu Baz: Fatawa Nur Ala al-Darb:2/1079). Begitu juga fatwa Syaikh al-Utsaimin (Majmu Fatawa al-Utsaimin:13/389).  Tapi, ulama hadits, Syaikh al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat menanggapi masalah berdoa mengangkat tangan setelah salat wajib, atau imam membaca doa dan jamaah di belakang mengaminkannya.
Ada ulama yang melarang, dan ada pula yang membolehkannya. Ulama yang membolehkannya berdalil dengan hadis Abu Hurairah yang mengatakan bahwa setelah salam, Rasulullah SAW menghadap kiblat, mengangkat tangan dan berdoa. Hadis Abdullah al-Zubair mengatakan, Rasulullah SAW mengangkat tangannya setelah selesai salat. Hadis Anas bin Malik, Rasulullah SAW mengatakan bahwa Allah SWT mengabulkan doa hamba-Nya yang mengangkat tangannya berdoa setelah selesai solat.  Kemudian, tidak ada larangan mengangkat tangan berdoa setelah salat wajib, bahkan banyak hadis yang mendukung amalan itu, sekalipun haditsnya dhaif. Maka, mengangkat tangan berdoa setelah salat wajib itu bukan perkara bidah (Abdul Rahman al-Mubarakfuri: Tuhfah al-Ahwazi: 2/200).
Bahkan, ulama fiqh pula berdalil dengan keumuman pernyataan Rasulullah SAW, bahwa tidak berkumpul kaum muslimin, sebagian berdoa, dan yang lain mengaminkan doanya, melainkan Allah SWT mengabulkan doa mereka (HR. al-Hakim).  Perawi hadis ini terdiri dari perawi hadis sahih, kecuali Ibnu Lahiah yang tergolong perawi hadis hasan. Dan perawi dari Ibnu Lahiah dalam hadis ini termasuk orang yang dipercaya, yaitu Abdullah bin Yazid al-Muqri (Ahmad al-Shiddiq al-Ghumari: al-Minah al-Mathlubah).  Pernyataan umum dalam hadits ini bisa dijadikan dalil membolehkan imam membaca doa setelah salat wajib dan para jamaah di belakang mengaminkannya.  Jadi, tidak bisa secepatnya kita menuduh penggunaan hadis dhaif dan berdoa berjamaah setelah salat wajib itu sebagai bidah terlarang. Karena, tidak mesti setiap masalah itu harus ada dalil khusus dari Alquran atau hadits yang membicarakannya.  Tapi, bisa saja menggunakan dalil umum yang tersebut dalam Alquran atau Sunnah Nabi sebagai landasannya. Begitu, diantara usaha ulama fiqh dalam mencari dalil menjawab berbagai persoalan. Kalau tidak begitu, niscaya syariat Islam ini tidak akan sanggup lagi menjawab berbagai masalah baru di era globalisasi ini.

D.    KEHUJJAHAN HADIS DHAIF
Sebagian ulama menyatakan bahwa Abdullah bin Mubarrak (w. 181 /797 M.), Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 /814 M.) dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 /855 M.) menerima hadis dha’if sebagai hujjah untuk Fadha-il al-A’mal (Al-Khathib, 1975:  351 dan Ash-Shalih, 1977: 210-211). Meskipun kemudian dibantah oleh ulama lainnya. Para ulama yang membantah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis dha’if untuk hujjah fadhail al-a’mal ialah hadis hasan yang mulai dibakukan pada zaman at-Tirmidzi sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah. (al-Jauziyah, 1973, I:  31 dan at-Tahawani, 1972:  98-99).
Ada sebagian ulama yang menerima hadis dha’if sebagai hujjah, namun hadis yang bersangkutan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni: 1) isinya tidak berkenaan dengan kisah, nasihat, keutamaan dan sejenisnya, serta tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, tafsir ayat al-Quran, hukum halal-haram dan yang semacamnya; 2) ke-dha’ifan-nya tidak parah; 3) ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi hadis dha’if yang bersangkutan; dan 4) niat pengamalannya tidak bersandarkan atas hadis dha’if itu, tetapi atas dasar kehati-hatian  (Al-Khatib, 1975:  351 dan ‘Itr, 1979:  293).
Seandainya diperhatikan dengan seksama syarat-syarat yang diajukan oleh para ulama untuk menerima hadis dha’if sebagai hujjah, maka sebenarnya para ulama pada prinsipnya menolak hadis dha’if untuk dijadikan sebagai hujjah. Hal itu bertambah jelas bila diperhatikan syarat-syarat pada butir kedua dan ketiga dengan dipenuhinya kedua syarat tersebut, maka hadis dha’if yang bersangkutan sesungguhnya telah meningkat kualitasnya menjadi hadis hasan li ghairih. (al-Qasimi, 1961:  102; ath-Thahhan, 1979:  45; dan al-Khathib, 1975: 332) Pendirian para ulama tersebut dapat dipahami, sebab agama merupakan keyakinan; dan keyakinan tidak dapat didasarkan pada dalil yang lemah atau meragukan. Alasan tersebut semakin kuat bila dihubungkan dengan pernyataan Nabi saw yang mengancam dengan siksaan neraka terhadap orang yang sengaja berdusta atas nama Nabi. (Al-‘Asqalani, tt, I: h202-203; dan al-‘Asqalani, tt, IV:  409; dan Nashif, 1962, I:  72) Ancaman itu bersifat umum, tanpa membedakan apakah berkaitan dengan hukum, nasihat-nasihat untuk beramal, ataukah lainnya. (al-Harawi, 1373 :  53).
Sedangkan mengenai kehujjahan hadits dha’if itu sendiri para ulama berbeda pendapat. Pertama tidak memakai hadits dha’if secara mutlak, baik untuk fadlailul ‘amal ataupun dalam bidang hukum, kedua mengamalkan hadits dha’if secara mutlak, dengan alasan hadits dha’if itu masih lebih baik dibandingkan dengan pendapat manusia, dan ketiga mengamalkan hadits dha’if untuk fadlailul ‘amal dan nasehat kebajikan dengan syarat-syarat tertentu.



      

  


















BAB II
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Hadits dhaif adalah hadits yang tidak memuhi sebagian atau semua persyaratan hadits hasan atau shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasil) , para perawinya tidak adil dan tidak dhabit, terjadi keganjilan, baik dalam sanad atau matan (syadz), dan terjadinya cacat yang tersembunyi(‘illat) pada sanad atau matan. Adapun macam-macam hadis dhaif dibagi menjadi dua, yaitu: Dhaif dari segi sanad atau gugurnya rawi dalam sanad, dan dhaif dari segi cacat pada rawi atau matan.
Kedudukan hadis dhaif dalam islam ada yang menerima dan ada yang menolak. Yang menerima hadis dhaif diantaranya: Imam Abu Hanifah, Imam Al-Syafii, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan yang menolak hadis dhaif diantaranya: yahya bin Ma’in, Bukhari, dan Muslim, Ibnul Arabi ulama fiqih dari mazhab Malikiyah, Abu Syamah Al-Maqdisi ulama dari mazhab Syafi’iyah dan Ibnu Hazm. Dalam kehujjahan hadis dhaif ada sebagian ulama yang menerima hadis dhaif sebagai hujjah, namun hadis yang bersangkutan harus memenuhi syarat tertentu, yakni: 1) isinya tidak berkenaan dengan kisah, nasihat, keutamaan dan sejenisnya, serta tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, tafsir ayat al-Quran, hukum halal-haram dan yang semacamnya; 2) ke-dha’ifan-nya tidak parah; 3) ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi hadis dha’if yang bersangkutan; dan 4) niat pengamalannya tidak bersandarkan atas hadis dha’if itu, tetapi atas dasar kehati-hatian  (Al-Khatib, 1975:  351 dan ‘Itr, 1979:  293).
B.     Saran
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami dari penyusun makalah ini sangat mengharapkan kritik, saran,dan masukan dari pembaca dan dosen pembimbing agar makalah ini jadi lebih sempurna. Dan semoga makalah ini membawa manfaat dan Barokah bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Khon, Abdul Majid. 2013. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Sahrami, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Syaikh, manna’ Al-Qaththan. 2010. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jawa Timur: Maktabah Wahbah.



[1] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, 2013, hal. 184-185.
[2] Abdul Majid Khon, ibid, 2013, hal. 191-192.
[3] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, 2010, hal. 121.
[4] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits. 2013, hal. 212.
[5] Abdul Majid Khon, ibid, 2013, hal. 213-224.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar