BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat
rumit dan menyisakan banyak problematika ditengah-tengah umat, juga merupakan
bagian dari ilmu yang harus diketahui dan dipelajari oleh segenap kaum muslim,
karena dewasa ini banyak kita temukan sekelompok orang yang tidak bisa
dikatakan kredibel dalam bidang ilmu ini dengan sangat yakin melontarkan hadits
demi hadits untuk menjustifikasi apa yang dia lihat tanpa memperhatikan aspek
apa saja yang harus dilalui. Seperti halnya bagian dari pembahasan yang ada di
dalam ilmu hadits ini, yaitu hadits dha’if, banyak di antara aliran
kepercayaan yang tanpa “tedeng aling-aling” melontarkan pernyataan bahwa
hadits dha’if tidak bisa dijadikan hujjah, apapun
bentuknya dan apapun kasusnya. Maka dari itu, sangat penting untuk mempelajari
hadits dha’if agar tidak mudah terjebak dengan
pemahaman-pemahaman yang penuh dengan pertentangan menurut disiplinnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian dari Hadits Dhaif?
2.
Apa saja macam-macam Hadis Dhaif?
3.
Bagaimana kedudukan Hadis Dhaif dalam Agama Islam?
4.
Bagaimana kehujjahan Hadis Dhaif?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari
Hadits Dhaif?
2. Untuk mengetahui macam-macam Hadis
Dhaif?
3. Untuk mengetahui kedudukan Hadis
Dhaif dalam Agama Islam?
4. Untuk mengetahui kehujjahan Hadis
Dhaif?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
1. Hadits
Dhaif
Hadits
dhaif adalah bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif berarti lemah,
lawan dari al-qawi yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak
memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Menurut istilah,
hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jadi, hadits dhaif adalah hadits yang tidak memuhi sebagian atau semua persyaratan
hadits hasan atau shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasil) , para perawinya tidak adil dan tidak dhabit, terjadi
keganjilan, baik dalam sanad atau matan (syadz), dan terjadinya cacat
yang tersembunyi(‘illat) pada sanad atau matan.
Contoh
hadits dhaif yaitu, hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan
Hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “ Barang siapa yang
mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari
jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam
sanad hadits tersebut terdapat seorang dhaif, yaitu Hakim Al-Atsram yang
dinilai dhaif oleh para ulama.
[1]
B. MACAM-MACAM
HADITS DHAIF
1. Dhaif
dari segi sanad atau gugurnya rawi dalam sanad.
Hadits
dhaif karena gugurnya rawi dalam sanad adalah tidak ada satu, dua atau beberapa
rawi, yang seharusnya ada dalam sanad, baik para permulaan sanad, pertengahan
ataupun akhirnya. Bagian-bagian dari gugurnya rawi dalam segi sanad yaitu:
a) Hadits
Mursal
Hadits Mursal adalah hadits yang diriwayatkan
oleh tabi’in dari Nabi, baik dari perkataan, perbuatan, atau persetujuan tanpa
menyebutkan penghubung antara seorang tabi’in dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yaitu seorang sahabat.
Contoh hadits mursal, misalnya: Ibnu Sa’ad
berkata dalam Thabaqatnya:
Memberitakan kepada kami Waki’ bin
al-Jarrah, memberitakan kepada kami Al-A’masy dari Abu Shalih berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya “ Wahai manusia sesungguhnya aku
sebagai rahmat yang dihadiahkan.”
Abu Shalih As-Saman Az-Zayyatseorang
Tabi’in, ia menyandarkan berita hadits tersebut dari Nabi tanpa menjelasakn
perantara sahabat yang menghubungkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.[2]
b) Hadits
Munqathi’
Hadits munqathi’ adalah hadits yang
sanadnya terputus, artinya seorang perawi tidak bertemu langsung dengan pembawa
berita, baik diawal, ditengah atau diakhir sanad, maka masuk didalamnya hadits
mursal, mu’allaq, dan mu’dhal.
Contoh
hadits munqathi’:
Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim,
Ahmad, dan Al-Bazzar dari Abdul Razzaq dari Ats-Tsauri dari Abu Ishaq dari Zaid
bin Yutsai’ dari Hudzaifah secara marfu’ yang artinya, “ Jika engkau serahkan
kekuasaan kepada Abu Bakr, dia adalah lelaki yang kuat dan tepercaya.”
Pada sanad hadits diatas ada seorang
perawi yang digugurkan, yaitu Syarik yang semestinya menempati posisi antara
Ats-Tsauri dan Abu ishaq. Ats-Tsauru menerima hadits bukan dari Abu Ishaq
secara langsung, tetapi dari Syarik dan Syarik mendengarnya dari Abu Ishaq.
c) Hadits
Mu’dal
Hadits mu’dal adalah hadits yang
gugurnya dua orang perawi terjadi berturut-turut.[3]
Contoh hadits mu’dal:
Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim
dalam Ma’rifah Ulum Al-Hadits yang disan darkan kepada Al-Qo’nabi dari Malik
telah sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah berkata: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “ Bagi budak mendapat makanan dan
pakaian, ia tidak boleh dibebani kecuali pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan.”
Hadits tersebut mu’dal karena digugurkan
dua orang perawi secara berturut-turut antara Malik dan Abu Hurairah, yaitu
Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
d) Hadits
Mu’allaq
Hadits mu’allaq adalah hadits yang
sanadnya bergantung karena dibuang dari awal sanad seorang perawi atau lebih
secara berturut-turut. Dengan demikian hadits mu’allaq bisa jadi yang dibuang
semua sanad dari awal sampai akhir.
Contoh
hadits mu’allaq:
Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori
berkata: berkata: memberitakan kepadaku Zaid bin Aslam, bahwa Atha’ bin Yasar
memberitahukan kepadanya, bahwa Abu Said Al-Khudri memberitakan kepadanya,
bahwa ia mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “ Jika hamba telah masuk islam, kemudian baik islamnya , maka Allah menghapus
daripadanya segala kejahatan yang telah lewat. Setelah itu diadakan pembalasan
amal, satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali persamaannya sampai seratus
kali lipat, sedangkan kejahatan dibalas dengan sesamanya, kecuali Allah
mengampuninya.”
Hadits diatas mu’allaq karena Al-Bukhari
menggugurkan syaikhnya sebagai penghubung dari Malik dengan menggunakan bentuk
kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan, yaitu : : قال مالك قال = Ia berkata : Malik berkata...
2. Dhaif
dari segi cacat pada rawi atau matan
Hadits
yang cacat pada rawi atau matannya, atau kedua-duanya digolongkan hadits dhaif.
Ada berbagai macam cacat yang dapat menimpa para rawi atau matannya,
diantaranya pendusta, pernah berdusta, fasiq, dan tidak dikenal atau berbuat
bid’ah. Bagian-bagian hadits dhaif dari segi cacat pada rawi atau matan yaitu;
a) Hadits
Munkar
Hadits
munkar adalah hadits yang menolak karena adanya periwayat hadits yang sangat
lemah daya ingatannya sehingga periwayatannya menyendiri, tidak sama dengan
periwayatan orang tsiqah. Contoh hadits munkar:
Seperti
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui Usamah bin Zaid Al-Madani dari
Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin ‘Auf dari ayahnya secara
marfu’ : yang artinya, “ Seorang puasa Ramadhan dalam perjalanan seperti
seorang berbuka dalam tempat tinggalnya.”
Hadits
diatas munkar karena periwayatan Usamah bin Zaid Al-Madani secara marfu’ (dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), bertentangan periwayatan Ibnu Abi
Dzi’bin yang tsiqah, menurutnya hadits diatas mauquf pada Abdurrahman bin ‘Auf.[4]
b) Hadits
Mu’allal
Hadits mu’allal adalah adanya cacat yang
tersembunyi dan cacat itu mengurangi atau menghilangkan keshahihan suatu
hadits.
Contoh hadits mu’allal:
Hadits yang diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi dan Abu Dawud, dari Qutaibah bin Sa’id, memberitakan kepada kami
Abdusslam bin Harb Al-Mala’i dari Al-A’masy dari Anas berkata: yang artinya, “
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak hajat tidak mengangkat
kainnya sehingga dekat dengan tanah.”
Hadits diatas lahirnya shahih karena
semua perawi dalam sanad tsiqah, tetapi Al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin
Malik. Ibnu Al-Madini mengatakan bahwa Al-A’masy tidak mendengar dari Anas bin
Malik. Dia melihatnya di Mekah shalat dibelakang Maqam Ibrahim.
c) Hadits
Mudraj
Hadits mudraj adalah hadits yang
dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian hadits itu. Contoh hadits mudraj;
Kisahnya Tsabit bin Musa ketika bertamu pada
Syarik bin Abdullah Al-Qadhi yang sedang menyampaikan periwayatan sanad hadits
dengan imlak (dikte).
Memberitakan kepada kami Al-A’masy dari
Abu Sufyan dari Jabir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam... ia diam
sejenak...karena Tsabit bin Musa datang. Kemudian ia berkata: yang artinya, “
Barang siapa uang banyak shalat pada malam harinya, maka berseri-seri wajahnya
pada siang harinya.”
Tsabit menduga bahwa ungkapan tersebut
adalah matan dari sanad hadits yang diditekan kepadanya, kemudian ia
meriwayatkannya.
d) Hadits
Syadzdz
Hadits syadzdz adalah hadits yang
ganjil, karena hanya dia sendiri yang rmeriwayatkannya atau periwayatannya
menyalahi periwayatan orang tsiqah atau yang lebih tsiqah.
Contoh hadits syadzdz:
Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan
At-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari Al-A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah secara marfu’
(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda): yang artinya, “ Jika telah
shalat dua raka”at Fajar salah seorang diantara kamu, hendaklah tiduran pada
lambung kanan.”
Al-Baihaqi berkata: Periwyatan Abdul
Wahid bin Zayyad adalah syadzdz karena menyalahi mayoritas perawi yang
meriwayatkan dari segi perbuatan Nabi, bukan sabda beliau. Abdul Wahid
menyendiri diantara para perawi tsiqah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan
Al-Bukhari dari Aisyah: yang artinya, “ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika telah melaksanakan shalat dua raka’at fajar (qobliyat ash-shubuh) tiduran
pada lambung sebelah kanan”.
[5]
C. KEDUDUKAN
HADIS DHAIF DALAM ISLAM.
Hadis merupakan sumber hukum dalam Islam
itu terbagi kepada hadis sahih, hasan, dan dhaif (lemah). Ulama Islam menerima
semua hadis sahih dan hasan, dan para ulama Islam tidak menolak seluruh hadis
dhaif. Tapi, para ulama Islam
menolak semua hadis yang sangat lemah dan hadis palsu (mudhu). Kedudukan hadis
dhaif ini perlu dibahas, agar kita tidak mudah menuduh amalan sebagian umat
Islam itu masuk dalam lingkaran bidah (terlarang).
Pengamalan hadits Dhaif. Mayoritas ulama
hadis dan ulama fiqh menggunakan hadits dhaif, selain dalam masalah akidah dan
penetapan hukum halal dan haram. Tapi, sebagian ulama hadis juga ada
menggunakan hadis dhaif dalam menetapkan hukum, jika tidak ada lagi hadis sahih
atau hasan.
Namun begitu, hadits itu tidak sangat
lemah, dan hadis dhaif itu mendapat dukungan dari dalil umum, dan juga tidak
diyakini pernyataan hadits itu suatu yang pasti dari Rasulullah SAW (Abu
Zakaria al-Nawawi: al-Azkar:1/5).
Penggunaan ulama hadis dan fiqh akan
hadis dhaif itu bisa dilihat dalam sikap mereka menerima hadis mursal, yaitu
hadis dari riwayat tabiin (generasi setelah sahabat Nabi) tanpa menyebutkan
sahabat. Dan menurut mereka
penggunaan hadis dhaif itu lebih utama daripada menggunakan pendapat akal
semata. Bahkan, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, sikap ini merupakan
pendapat mayoritas ulama (Ibnu Qayyim al-Jauziyah: Ilam al-Muwaqqiin:1/31). Misalnya, Imam Abu Hanifah memakai
hadits dhaif yang menyatakan mahar itu tidak boleh kurang dari 10 dirham. Imam malik memakai hadits dhaif
dengan sanad Abdullah bin Azam pada larangan memegang Alquran tanpa bersuci.
Imam al-Syafii memakai hadits dhaif kebolehan salat di Makkah pada waktu
terlarang. Imam Ahmad bin Hanbal memakai hadits dhaif yang menyatakan tiada
salat bagi jiran masjid kecuali di masjid.
Bahkan, para ulama juga sepakat menerima hadits dhaif, apabila hadis itu
diterima oleh mayoritas umat Islam. Diantaranya, umat Islam sepakat menerima
hadis dhaif yang menyatakan tidak boleh memberikan wasiat kepada ahli waris.
Perlu diketahui, pernyataan Imam Ahmad
bin Hanbal bahwa hadis dhaif lebih utama dari pendapat akal itu adalah hadis
dhaif menurut penilaian ulama hadis.
Bukan seperti dugaan Imam Ibnu Taimiyah bahwa hadits dhaif menurut Imam Ahmad
itu adalah hadits hasan (Ibnu Taimiyah:Majmu al-Fatawa:1/251). Pernyataan Imam Ibnu
Taimiyah ini tidak bisa diterima, karena 853 hadis dhaif yang terdapat dalam
Musnad Imam Ahmad itu bukan hadis hasan.
Berdoa Setelah Salat, Menanggapi masalah ini, Rasulullah SAW
dalam sebuah
hadis hasan, menyatakan doa yang didengar Allah SWT itu adalah doa di akhir
malam, dan doa setelah selesai salat wajib. (HR. al-Tirmizi). Rasulullah SAW
juga mengatakan, salat malam itu dua rakaat, baca tasyahhud pada tiap dua
rakaat, tenang saat berdoa, dan angkat tanganmu (HR. Abu Dawud). Perintah mengangkat tangan ketika
berdoa itu sebagai dalil bahwa waktu berdoa itu setelah selesai salat. Karena
berdoa ketika salat tidak ada mengangkat tangan (Muhammad Hasyim al-Tattawi
al-Sindi: al-Tuhfah al-Marghubah). Namun
begitu, Mufti Arab Saudi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan bahwa berdoa
dengan mengangkat tangan setelah salat wajib itu adalah bidah dan perkara
mungkar (Ibnu Baz: Fatawa Nur Ala al-Darb:2/1079). Begitu juga fatwa Syaikh
al-Utsaimin (Majmu Fatawa al-Utsaimin:13/389). Tapi, ulama hadits, Syaikh
al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat menanggapi masalah
berdoa mengangkat tangan setelah salat wajib, atau imam membaca doa dan jamaah
di belakang mengaminkannya.
Ada ulama yang melarang, dan ada pula
yang membolehkannya. Ulama yang membolehkannya berdalil dengan hadis Abu
Hurairah yang mengatakan bahwa setelah salam, Rasulullah SAW menghadap kiblat,
mengangkat tangan dan berdoa. Hadis
Abdullah al-Zubair mengatakan, Rasulullah SAW mengangkat tangannya setelah
selesai salat. Hadis Anas bin Malik, Rasulullah SAW mengatakan bahwa Allah SWT
mengabulkan doa hamba-Nya yang mengangkat tangannya berdoa setelah selesai
solat. Kemudian, tidak ada
larangan mengangkat tangan berdoa setelah salat wajib, bahkan banyak hadis yang
mendukung amalan itu, sekalipun haditsnya dhaif. Maka, mengangkat tangan berdoa
setelah salat wajib itu bukan perkara bidah (Abdul Rahman al-Mubarakfuri:
Tuhfah al-Ahwazi: 2/200).
Bahkan, ulama fiqh pula berdalil dengan
keumuman pernyataan Rasulullah SAW, bahwa tidak berkumpul kaum muslimin,
sebagian berdoa, dan yang lain mengaminkan doanya, melainkan Allah SWT
mengabulkan doa mereka (HR. al-Hakim).
Perawi hadis ini terdiri dari perawi hadis sahih, kecuali Ibnu Lahiah yang
tergolong perawi hadis hasan. Dan perawi dari Ibnu Lahiah dalam hadis ini
termasuk orang yang dipercaya, yaitu Abdullah bin Yazid al-Muqri (Ahmad
al-Shiddiq al-Ghumari: al-Minah al-Mathlubah). Pernyataan umum dalam hadits ini bisa
dijadikan dalil membolehkan imam membaca doa setelah salat wajib dan para
jamaah di belakang mengaminkannya.
Jadi, tidak bisa secepatnya kita menuduh penggunaan hadis dhaif dan berdoa
berjamaah setelah salat wajib itu sebagai bidah terlarang. Karena, tidak mesti
setiap masalah itu harus ada dalil khusus dari Alquran atau hadits yang
membicarakannya. Tapi, bisa saja
menggunakan dalil umum yang tersebut dalam Alquran atau Sunnah Nabi sebagai
landasannya. Begitu, diantara usaha ulama fiqh dalam mencari dalil menjawab
berbagai persoalan. Kalau tidak begitu, niscaya syariat Islam ini tidak akan
sanggup lagi menjawab berbagai masalah baru di era globalisasi ini.
D. KEHUJJAHAN
HADIS DHAIF
Sebagian ulama menyatakan bahwa Abdullah
bin Mubarrak (w. 181 /797 M.), Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 /814 M.) dan Ahmad
bin Hanbal (w. 241 /855 M.) menerima hadis dha’if sebagai hujjah untuk Fadha-il al-A’mal (Al-Khathib,
1975: 351 dan Ash-Shalih, 1977: 210-211). Meskipun kemudian dibantah oleh
ulama lainnya. Para ulama yang membantah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
hadis dha’if untuk hujjah fadhail al-a’mal ialah hadis
hasan yang mulai dibakukan pada zaman at-Tirmidzi sebagaimana yang dinyatakan
oleh Ibnu Taimiyah. (al-Jauziyah, 1973, I: 31 dan at-Tahawani,
1972: 98-99).
Ada sebagian ulama yang menerima hadis dha’if sebagai hujjah, namun hadis yang
bersangkutan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni: 1) isinya tidak
berkenaan dengan kisah, nasihat, keutamaan dan sejenisnya, serta tidak
berkaitan dengan sifat-sifat Allah, tafsir ayat al-Quran, hukum halal-haram dan
yang semacamnya; 2) ke-dha’ifan-nya tidak parah; 3) ada dalil lain
(yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi hadis dha’if yang bersangkutan; dan 4) niat
pengamalannya tidak bersandarkan atas hadis dha’if itu, tetapi atas dasar
kehati-hatian (Al-Khatib, 1975: 351 dan ‘Itr, 1979: 293).
Seandainya diperhatikan dengan seksama
syarat-syarat yang diajukan oleh para ulama untuk menerima hadis dha’if sebagai hujjah, maka sebenarnya para
ulama pada prinsipnya menolak hadis dha’if untuk dijadikan sebagai hujjah. Hal itu bertambah
jelas bila diperhatikan syarat-syarat pada butir kedua dan ketiga dengan
dipenuhinya kedua syarat tersebut, maka hadis dha’if yang bersangkutan sesungguhnya telah
meningkat kualitasnya menjadi hadis hasan
li ghairih. (al-Qasimi,
1961: 102; ath-Thahhan, 1979: 45; dan al-Khathib, 1975: 332)
Pendirian para ulama tersebut dapat dipahami, sebab agama merupakan keyakinan;
dan keyakinan tidak dapat didasarkan pada dalil yang lemah atau meragukan.
Alasan tersebut semakin kuat bila dihubungkan dengan pernyataan Nabi saw yang
mengancam dengan siksaan neraka terhadap orang yang sengaja berdusta atas nama
Nabi. (Al-‘Asqalani, tt, I: h202-203; dan al-‘Asqalani, tt, IV: 409; dan
Nashif, 1962, I: 72) Ancaman itu bersifat umum, tanpa membedakan apakah
berkaitan dengan hukum, nasihat-nasihat untuk beramal, ataukah lainnya.
(al-Harawi, 1373 : 53).
Sedangkan mengenai
kehujjahan hadits dha’if itu sendiri para ulama berbeda pendapat. Pertama tidak memakai hadits dha’if secara
mutlak, baik untuk fadlailul ‘amal ataupun dalam bidang hukum, kedua mengamalkan hadits dha’if secara
mutlak, dengan alasan hadits dha’if itu masih lebih baik dibandingkan dengan pendapat manusia, dan ketiga mengamalkan hadits dha’if untuk
fadlailul ‘amal dan nasehat kebajikan dengan syarat-syarat tertentu.
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadits
dhaif adalah hadits yang tidak memuhi sebagian atau semua persyaratan hadits
hasan atau shahih, misalnya sanadnya tidak
bersambung (muttasil) , para
perawinya tidak adil dan tidak dhabit, terjadi keganjilan, baik dalam sanad
atau matan (syadz), dan terjadinya cacat yang tersembunyi(‘illat)
pada sanad atau matan. Adapun
macam-macam hadis dhaif dibagi menjadi dua, yaitu: Dhaif
dari segi sanad atau gugurnya rawi dalam sanad, dan dhaif dari segi cacat pada rawi atau
matan.
Kedudukan hadis
dhaif dalam islam ada yang menerima dan ada yang menolak. Yang menerima hadis
dhaif diantaranya: Imam Abu Hanifah, Imam Al-Syafi’i, Imam Malik, dan Imam
Ahmad bin Hanbal. Sedangkan yang
menolak hadis dhaif diantaranya: yahya bin Ma’in, Bukhari, dan Muslim, Ibnul
Arabi ulama fiqih dari mazhab Malikiyah, Abu Syamah Al-Maqdisi ulama dari
mazhab Syafi’iyah dan Ibnu Hazm. Dalam kehujjahan hadis dhaif ada sebagian
ulama yang menerima hadis dhaif sebagai hujjah, namun hadis yang bersangkutan
harus memenuhi syarat tertentu, yakni: 1) isinya tidak
berkenaan dengan kisah, nasihat, keutamaan dan sejenisnya, serta tidak
berkaitan dengan sifat-sifat Allah, tafsir ayat al-Quran, hukum halal-haram dan
yang semacamnya; 2) ke-dha’ifan-nya tidak parah; 3) ada dalil lain
(yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi hadis dha’if yang bersangkutan; dan 4) niat
pengamalannya tidak bersandarkan atas hadis dha’if itu, tetapi atas dasar
kehati-hatian (Al-Khatib, 1975: 351 dan ‘Itr, 1979: 293).
B.
Saran
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari
itu kami dari penyusun makalah ini sangat mengharapkan kritik, saran,dan masukan
dari pembaca dan dosen pembimbing agar makalah ini jadi lebih sempurna. Dan
semoga makalah ini membawa manfaat dan Barokah bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Khon, Abdul Majid. 2013. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Sahrami, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Syaikh, manna’ Al-Qaththan. 2010. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jawa Timur:
Maktabah Wahbah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar