Rangkuman Materi UN Bahasa Inggris SMP 2014
Download Disini
catatan kuliahku
Jumat, 15 April 2016
Makalah Tafsir (Sejarah Perkembangan Tafsir dan Al-Qur'an)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Secara etimologi tafsir bisa
berarti: الايضاح والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan)
dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata yang samar). Adapun
secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau
menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.
Menafsirkan
Al-Qur’an berarti berupaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan
kandugan Al-Qur’an. Oleh karena objek tafsir adalah Al-Qur’an, dimana ia adalah
sumber pertama ajaraan islam sekaligus petunjuk bagi manusia, maka penafsiran
terhadap Al-Qur’an bukan hanya hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu,
suatu keharusan, bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan
ini.
Penafsiran
al-Qura’n telah dimulai sejak Al-Qur’an itu turun (16:44,64). Mufasirnya adalah
Nabi Muhammad sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’
tabi’i dan seterusnya sampai sekarang. Wacana itu menunjukkan bahwa tafsir
Al-Qur’an termasuk ilmu yang pertama kali lahir dalam wacana intelektual islam.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
perkembangan tafsir pada masa Rasul?
2. Bagaimana
perkembangan tafsir pada masa Sahabat?
3. Bagaimana
Perkembangan tafsir pada masa tabi’in?
4. Bagaimana
kondifikasi perkembangan tafsir?
5. Bagaimana
perkembangan tafsir di Indonesia?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
dan memahami perkembangan tafsir pada masa Rasul.
2. Mengetahui
dan memahami perkembangan tafsir pada masa sahabat.
3. Mengetahui
dan memahami perkembangan tafsir pada masa tabi’in.
4. Mengetahui
dan memahami kondifikasi tafsir.
5. Mengetahui
dan memahami perkembangan tafsir di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir
di Masa Rasulullah SAW.
Bangsa Arab pada masa-masa awal turunnya al-Qur’an telah
mempunyai kemampuan untuk memahami maksud dalam ayat-ayat al-Qur’an. Mereka
tidak perlu menanyakan makna-makna al-Qur’an maupun tafsirnya kepada Nabi SAW.
Mereka sudah merasa cukup dengan kemampuan bahasa yang mereka miliki.
Aspek-aspek sastra Arab telah mereka kenal sebelum mereka menerima al-Qur’an.
Dalam kondisi seperti ini, belum dirasakan perlunya ilmu tafsir. Demikian pula untuk membentuk kelompok-kelompok studi, kecuali untuk sebagian ayat yang memang dirasa sulit bagi para sahabat. Untuk kasus seperti ini mereka akan menanyakan kepada Nabi.
Dalam kondisi seperti ini, belum dirasakan perlunya ilmu tafsir. Demikian pula untuk membentuk kelompok-kelompok studi, kecuali untuk sebagian ayat yang memang dirasa sulit bagi para sahabat. Untuk kasus seperti ini mereka akan menanyakan kepada Nabi.
Tidak
seluruh ayat yang diturunkan kepada Rasulullah saw dapat dipahami dengan mudah
oleh para sahabat. Beliaulah yang menerangkannya berdasarkan
keterangan-keterangan yang diperoleh dari Allah, kemudian menjelaskanya dengan
bahasa beliau sendiri. Penjelasan kitab suci ini bukan buah pikirab Rasul,
melainkan bersumber dari wahyu, meskipun beliau menyampaikannya dengan bahasa
sendiri. Allah swt berfirman:
$tBur ß,ÏÜZt
Ç`tã
#uqolù;$#
ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã
ÇÍÈ
Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Penjelasan
di atas membawa dua konsekuensi yang tegas. Pertama,
setiap penafsiran al-Qur’an hendaklah lebih dahulu memperhatikan keterangan
yang beliau berikan, kemudian baru diterangkan dengan logika dan rasio. Kedua,
Nabi saw merupakan pemegang otoritas tunggal sebagai penjelas dan penafsiran
al-qur’an dimasa kerasulan. Kemudian setelah beliau wafat, ulama sahabat tampil
menggantikan fungsi Rasulullah saw sebagai penafsir al-Qur’an. Dengan demikian,
hendaknya penafsiran al-Qur’an itu menjadikan keterangan sahabat sebagai
pegangan sesudah penafsiran Rasulullah saw.
B.
Tafsir
di Masa Sahabat
Berbeda
dengan Rasulullah saw, para sahabat hanya memahami al-Qur’an secara garis
besar. Apabila diseleksi untuk menemukan beberapa sahabat yang paling banyak
memberikan penafsiran tentang ayat-ayat al-Qur’an, maka ada sepuluh sahabat
yang utama dalam bidang tafsir, yaitu:
1. Abu
Bakar ash-shiddiq (573 M-634 M)
2. ‘Umar
bin al-Khattab (584 M-644 M)
3. ‘Asman
bin Affan (600 M-662 M)
4. ‘Ali
bin Abu Talib (600 M-661 M)
5. ‘Abdullah
bin Mas’ud (w.625 M)
6. ‘Abdullah
bib ‘Abbas (w.687 M)
7. Ubain
bin Ka’ab (w.642 M)
8. Zaid
bin Sabit (611 M-655 M)
9. Abu
Musa al-Asy’ari
10. ‘Abdullah
bin Zubair
Empat orang ini diantaranya menjadi Khalifah Rasul. Keempatnya dinamai
Khulafa’ur-Rasydin. Dari empat orang ini, ‘Ali bin Abu Talib tercatat sebagai
yang paling banyak menafsirkan al-Qur’an. Sedangkan Abu Bakar ash-shiddiq, ‘Umar
bin al-Khattab, ‘Asman bin Affan sedikit sekali riwayat tafsir yang berasal
dari beliau. Hal itu disebabkan karena mereka terdahulu wafat dan tafsir pada
masa itu belum berkembang dengan pesat. Namun, diantara sepuluh sahabat diatas,
Ibnu ‘Abbas adalah sahabat yang paling banyak, paling utama, dan paling dalam
pengetahuanya mengenai tafsir al-Qur’an. Rasulullah mendoakan sahabat ini
sebagai berikut yang artinya”
“Ya
Allah, berikanlah pemahaman keagamaan kepadanya (ibnu ‘Abbas) dan ajarkanlah
tafsir kepadanya,”
Tetapi dalam perkembangan selanjutnya,
banyak riwayat tafsir yang disandarkan begitu saja kepada Ibnu ‘Abbas, bahkan
tidak kurang pula jumlahnya orang yang sengaja memalsukan riwayat atas nama
sahabat besar ini. Ada pula yang sengaja mencampur adukkan antara perkataanya
dan perkataan Ibnu ‘Abbas, Imam Syafi’i pernah mengeluarkan pernyataan tentang
tafsir al-Qur’an yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, yang artinya
Riwayat
dari Ibnu ‘Abbas tentang tafsir itu tidak ada kuat kecuali berjumlah sekitar
100 hadits.
· Tafsir dalam masa ini memiliki 4 sumber, yaitu:
1.
Al-Qur’an
al-karim
Al-qura’an
al-Karim yang dalam implementasinya disebut tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an. Diantara bentuk
penafsiran ini adalah kompromi di antara kalimat-kalimat yang secara sekilas
tampak berbeda seperti firman Allah SWT dalam surah al-Fatihah: “(yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau
beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat.[9]
[9] yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan
mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Yang dimaksud dengan
orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah swt itu dijelaskan dalam surah
an-Nisa: “Dan barangsiapa yang mentaati
Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin[314],
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman
yang sebaik-baiknya.”
[314] ialah: orang-orang yang amat teguh
kepercayaannya kepada kebenaran rasul, dan inilah orang-orang yang dianugerahi
nikmat sebagaimana yang tersebut dalam surat Al Faatihah ayat 7.
2.
Nabi saw yang dalam implementasinya
disebut tafsir al-Qur’an bi as-Sunah.jika
merujuk ke kitab-kitab sunnah, maka kita menemukan banyak bab tafsir
didalamnya. Diantaranya adalah diriwayatkan oleh tirmizi dan perawi lain dari
‘Adi Bin Hibban. Ia berkata “Rasulullah saw bersabda, ”sesungguhnya orang-orang
yang dimurkai Allah (dalam surah al-Fatihah) adalah Yahudi, dan orang-orang
yang sesat adalah orang-orang Nasrani.
3. Tafsir al-Qur’an dengan pendapat sahabat
Apabila
sahabat tidak menemukan penafsiran dalam al-Qur’an, serta tidak mudah untuk
mengambilnya dari Rasulullah saw,
maka mereka kembali kepada ijtihad dan pendapat mereka, seperti yang dilakukan
oleh Mu’az bin Jabal ketika diutus oleh Rasulullah saw untuk berdakwah disuatu kaum. dengan ijtihad, kedua sumber penafsiran di atas disepakati diterima oleh
semua sahabat, tidak demikian dengan ijtihad. Para sahabat berselisih akan
diterimanya tafsir dengan pedoman ijtihad ini. Sebagian dari mereka hanya
berpedoman pada riwayat saja. Akan tetapi, sebagian dari mereka selain menggunakan
riwayat, juga menggunakan ijtihad. Dalam bukunya Sejarah dan Pengantar Ilmu
al-Qur’an/Tafsir, Hamka menerangkan bahwa yang digunakan untuk berpegang dalam
metode ini adalah kekuatan bahasa dan asbabunnuzul.
Diantara para sahabat yang tidak membenarkan tafsir
dengan metode ijtihad ini adalah Abu Bakar dan Umar r.a. Sedangkan diantara
sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan metode ijtihad adalah Ibnu Mas’ud dan
Ibnu Abbas. Bahkan dengan kepandaian yang diberikan Allah kepada Ibnu Abbas
kemudian ia digelari dengan Tarjuman al-Qur’an.
Meskipun para sahabat pada waktu itu sudah
menggunakan metode ijtihad, tetapi mereka tidak sampai merumuskan kaidah-kaidah
balaghah maupun nahwu. Secara fithrah mereka masih memahami dengan baik
citarasa bahasa Arab yang murni sebelum banyak berhubungan dengan bahasa lain.
Mereka sudah memahami unsur-unsur balaghah seperti ijaz, ithnab, haqiqah,
majaz, tasybih, kinayah, dan lain-lain.
4. Ahli Kitab Dari Umat Yahudi Dan Nasrani.
Hal
ini dikarenakan bahwa al-Qur’an al-Karim sejalan dengan taurat dalam beberapa
masalahnya, khususnya dalam kisah para nabi dan hal-hal yang terkait dengan
umat umat masa lalu seperti halnya al-Qur’an mengandung masalah-masalah yang
terdapat dalam kitab-kitab injil seperti kelahiran ‘Isa putranya Maryam dan
mukjizat-mukjizatanya. Hanya saja,
sumber yang keempat ini tidaak banyak diambil karena banyak
terjadinya penyimpangan didalamnya.
Dari
10 sahabat besar diatas, sahabat-sahabat inilah yang mengembangkan tafsir
al-Qur’an kepada tabi’in. mereka menyebar ke kota-kota besar. Semula, tafsir
al-Qur’an berkembang sebagai ilmu pengetahuan di Mekkah, kemudian menyusul di
Madinah, dan dilanjutkan di Irak. Ibnu ‘Abbas-lah yang berjasa mengembangkan
ilmu tafsir dikota Mekah karena pada massa tabi’in banyak yang berguru
kepadanya. Itulah sebabnya ibnu Taimiyah mengatakan:
“orang-orang
yang paling mengerti dengan tafsir adalah penduduk mekkah, sebab mereka adalah
sahabat-sahabat Ibnu ‘Abba, seperti Mujahid, atau Ibnu Jubair, Tawus, dan
lain-lain. Demikian pula di Kufah (mereka) adalah sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud,
dan ulama Madinah seperti Zaid bin Aslam”.[1]
·
Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Tafsir
pada Masa Sahabat
Perbedaan penafsiran
telah terjadi di zaman sahabat, meskipun perbedaan mereka ini relatif lebih sedikit disbanding dengan perbedaan
yang terjadi dimassa tabi’in dan sesudahnya. Perbedaan sahabat dalam
menafsirkan al-Qur’an lebih dikarena akan ketidaksamaan mereka dalam menguasai
piranti-piranti yang digunakan untuk memahami al-Qur’an sebagai berikut:
1. Tata
bahasa Arab dan rahasia-rahasianya. Ia membantu memahami ayat-ayat yang
pemahamanya tidak bergantung pada masa selain bahasa Arab.
2. Pengetahuan
tentang berrbagai kebiasaan masyarakat Arab. Ia membantu memahami ayat yang
berhubungan dengan kebiasaan mereka. Sebagai contoh, kata an-nasi’
“sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah
kekafiran.”(at-Taubah/9;37).
3. Pengetahuan
tentang kondisi Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab waktu al-Qur’an, khususnya
untuk memahami ayat-ayat yang mengandung isyarat tentang perbuatan mereka dan
bantahan terhadap meeka.
4. Kekuatan
pemahaman dan penalaran. Ini adalah karunia Allah swt yang sebagian hamba
diberi lebih baik oleh Allah dari pada hamba yang lain.
5. Diantara
sahabat ada yang selalu menyertai Nabi saw. Sehingga ia banyak mengetahui as-babun-nuzul yang tidak diketahui oleh
sahabat lain. Alasanya adalah karena penafsiran al-Qur’an ini tidak di lepaskan
dari kontes turunnya.[2]
C.
Tafsir Dimasa Tabi’in
Periode
pertama berakhir ditandai dengan berakhirnya generasi sahabat. Lalu dimulailah
priode kedua tafsir, yaitu periode tabi’in yang belajar langsung dari sahabat.
1. Sumber-sumber penafsiran pada masa tabiin
a. Al-quran
b. Hadis nabi saw
c. Pendapat sahabat
d. Informasi dari ahli kitab yang bersumber dari kitab suci
mereka
e. Ijtihad tabi’in
2. Penyebaran tafsir
Ilmu
tafsir mengalami penyebaran melalui para sahabat yang menyebar keberbagai penjuru
seiring dengan meluasnya wilayah islam sejak zaman Rasulullah
saw dan para khalifah sesudah beliau.
Maka, pada saat itulah berdiri
madrasah-madrasah tafsir yang mansyur, dimana gurunya adalah para sahabat dan
muridnya adalah para tabi’in, sebagai contoh, madrasah tafsir di Mekah,
Madinah, dan Irak. Ketiga madrasah inilah yang paling mansyur dikala itu.
Madrasah
tafsir di Mekah dipelopori oleh Ibnu ‘Abbas. Dialah yang mengajarkan tafsir
kepada tabi’in, menjelaskan makna-makna yang sulit. Diantara murid Ibnu
‘Abbas di Mekah yang Mansyur adalah
Sa’id bin Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah Maula Ibnu ‘Abbas, Tawus bin Kisan
al-Yamani, dan ‘Ata’ bin Rabah.
Madrasah
tafsir di Madinah dipelopori oleh Ubai bin Ka;b. di Madinah kala itu ada banyak
sahabat yang tidak turut berpindah ke wilayah-wilayah islam lain, dan lebi
memilih mengajarkan al-Qur’an dan sunah kepada para pengikut mereka. Maka
berdirilah Madrasah tafsir di Madinah tempat belajarnya para Mufassir tabi’in
yang mansyur. Tiga mufassir tabi’in yang paling mansyur adalah Zaid bin Aslam,
Abu ‘Aliyah, dan Muhamad bin Ka’b al-Qarazi.
Dan
di Irak juga muncul madrasah tafsir yang dipelopori oleh ‘Abdullah bin Mas’ud.
Ada sahabat yang mengajarkan tafsir di Irak. ‘Abdullah bin Mas’ud dianggap
sebagai guru pertama di madrasah Irak mengingat populeritas riwayat darinya.
3. Kedudukan penafsiran Tabi’in
Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi penafsira tabi’in
ketika tidak ada riwayat dari rasulullah saw atau dari sahabat ada yang
menerima daan menolak.
Alasan ulama yang menolak adalah :
a.
Tidak ada kemungkinan seorang tabi’in
mendengar langsung dari Rasulullah saw berbeda dengan penafsiran sahabat yang
bias jadi ia mendengar dari Rasulullah saw.
b.
Tidak
menyaksikan berbagai
kondisi yang melingkupi turunnya al-Qur’an, sehingga bisa jadi mereka salah dalam memahami maksud,
dan menduga sesuatu yang bukan Dalil.
c.
Status adil para tabi’in tidak dinaskan berbeda dengan
adil para sahabat.
Diriwayatkan
dari Abu Hanifah bahwa ia berkata,”apa yang dating dari Rasulullah, maka kami
terima bulat-bulat. Apa yang dating dari sahabat, maka kami pilah-pilah. Dan
apa yang dating dari tabi’in, maka sejatinya mereka itu manusia dan kamipun
manusia.
Namun
mayoritas mufassir berpendapat bahwa ucapan tabi’in dalam bidang tafsir itu
dapat diterima sebagai acuan. Karena para tabi’in itu menukil sebagian besar
penafsiran mereka dari para sahabat. Mujahid, misalnya, berkata,”Aku membaca
mushaf dihadapan Ibnu ‘Abbas sebanyak tiga kali dari surah al-Fatihah hingga
surah an-Nas. Aku berhenti pada setiap ayat dan menanyakanya”.
4.
Karakteristik
tafsir pada masa tabi’in
a.
Banyak
mengambil dari kisah isra’iliyyat.
Hal ini karena
banyaknya ahli kitab yang masuk islam, dan dipikirkan mereka masih melekat
ajaran-ajaran kitab suci mereka, khususnya hal-hal yang tidak ada hubunganya
dengan hukum-hukum syariat seperti berita tentang awal penciptaan dan
lain-lain.
b.
Tafsir
masih dijaga dalam sistem talaqqi dan riwayat, namun bukan
talaqqi dan riwayat dengan arti komprehensif seperti yang ada pada zaman Nabi
saw. Melainkan talaqqi dan riwayat yang dibatasi pada figure, seperti ulama
mekah yang hanya menaruh perhatian pada riwayat dari Ibnu ‘Abbas, ulama Madinah
dari Ubai, dan seterusnya.
c.
Banyaknya
perbedaan pendapat para tabi’in dalam penafsiran, meskipun
relatif sedikit dibandingkan dengan perbedaan pendapat yang terjadi sesudahnya.
d.
Munculnya
benih-benih perbedaan mazhab.
D. Kodifikasi
Tafsir
Priode
kodifikasi tafsir dimulai sejak mnculnya pembukuan, yaitu pada akhir masa
pemerintahan Bani Umaiyyah dan awal masa Bani ‘Abbasiyah. Untuk itu ada
beberapa tahapan, yaitu:
1.
Tafsir
ditransfer melalui periwayatan: sahabat meriwayatkan dari Rasulullah saw, sebagaimana
sebagian sahabat meriwayatkan dari sebagian yang lain. Lalu tabi’in
meriwayatkan dari sahabat, seperti halnya sebagian dari tabi’in meriwayatkan
dari sebagian yang lain.
2.
Hadits
Rasulullah saw mulai dibukukan.
Buku-buku hadits memuat
banyak bab, dan tafsir merupakan salah satu bab yang termuat dalam buku-buku
hadits. Pada waktu itu, belum ada karangan khusus tentang tafsir, ayat demi
ayat, dari awal hingga akhir. Para penulis tafsir pada tahap ini diantaranya adala
Yazid bin Harun as-Sulami, Syu’bah bin Hajjaj, Waki’ bin Jarah, dan lain-lain.
3.
Ilmu
tafsir memisahkan diri dari hadits.
Sehingga menjadi ilu
tersendiri. Setiap ayat dalam al-Qur’an diberiikan penafsiran dan disusun
sesuai susunan mushaf. Pekerjaan ini dilakukan oleh sekelompok ulama,
diantaranya Ibnu Jarir at-Tabari, Abu Bakar bin Munzir an-Nisaburi, dan
lain-lain.
4.
Penulis
tafsir tetap berpegang pada metode bilma’sur, namun ada perubahan dari segi
sanad,
di mana para penuls meringkas sanad dan penulis berbagai pendapat yang
diriwayatkan dari para pendahulu mereka tanpa menisbakan pendapat tersebut
kepada orang yang mengemukakanya. Maka terjadilah banyak pemalsuan dalam
tafsir, riwayat sahih bercampur dengan riwayat cacat. Dan pencantuman israilliyyat dengan asumsi bahwa ia
merupakan kebenaran yang pasti. Inilh awal mula terjadinya pemalsuan dan israilliyyat dalam tafsir.
5.
Terjadinya
pencampuran antara pemahaman rasional dan tafsir naqli
setelah sebelumnya penulisan tafsir terbatas pada riwayat dari salaf saja. Hal
ini berlangsung selama masa ‘Abbasiyah hingga hari ini.
E. Sejarah
Perkembangan Tafsir Di
Indonesia
Sejarah
al-Qur’an dan perkembangan tefsir di Indonesia sangat erat kaitanya dengan
sejarah masuknya islam ke Indonesia, mengingat al-Qur’an dan tafsir merupakan
sumber utama ajaran-ajaran Islam.
Ada
dua teori yang menjelaskan masuknya islam ke Indonesia, yaitu:
1.
Teori timur
Islam masuk ke
Indonesia pada abad VII M atau abad I H, yang disebarkan langsung melalui jalur
perdagangan oleh orang-orang Arab yang bermazhab syafi’I di daerah pesisir
pantai utara sumatera (malaka).
2.
Teori barat
Teori barat ini bersumber
dari perjalanan Marcopolo (1292 M). hal ini lebih diperkuat oleh catatan Ibnu
Batutah yang menjelaskan berdirinya Islam dipantai utara sumatera pada abad
XVIII M.
Kegiatan
keilmuan yang berkaitan dengan al-Qur’an di Indonesia dirintis oleh ‘Abdu Ra’uf
singkel yang menerjemahkan al-Qur’an kedalam bahasa melayu pada pertengahan
abad XVII. Kitab terebut bernama Tarjuman
al-Mustafid, yang pernh diterbitkan di Singapura, Penang, Bombai, dan
Istambul (matba’ah-‘usmaniyyah), kairo dan Mekkah. Lama setelah itu, barulah
muncul beberapa took yang mengikuti jejaknya.
1. Mahmud
Yunus (tafsir al-Qur’an Indonesia, 1922)
2. A.
Hassan Bandung (al-Furqan 1928
3. Zainudin
Hamidi (tafsir al-Qur’an, 1959)
4. Halim
Hassan (tafsir al-qur’an al-Karim, 1960
5. Hamka
(tafsir al-Azhar, 1973), dan lain-lain
Upaya penerjemahan al-Qur’an dan
penulisan tafsir juga dilakukan oleh pemerintah. Proyek penerjemaan al-Qur’an
dilakukan oleh MPR dan dimasukkan kedalam pola satu pembangunan semesta alam
berencana. Menteri agama yang ditunjuk sebagai pelaksana, bahkan telah
membentuk lembaga. Yayasan penyelenggara penerjemah/penafsir al-Qur’an yang
pertama kali diketehui oleh Soenarjo. Terjemahan-terjemahan al-Qur’an itu
mengalami perkembangan yang pada akhirnya, atas usul Musyawarah kerja ulama al-Qur’an
XV (23-25 Maret 1989) disempurnakan oleh pusat penelitian pengembangan Lektur
Agama bersama Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an.
Perbaikan dan penerjemahan al-Qur’an
Departemen Agama, telah beberapa kali dilakukan. Pada tahun 1989, dibawah
pimpinan ketua Lajnah Drs. H.A. Hafizh Dasuki, Ma, telah dilakukan penyempurnaan
yang belum menyeluruh. Tetapi hanya lebih difokuskan kepada penyempurnaan
redaksional yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan bahasa
Indonesia ketika itu. Sedangkan hal-hal substansial tidak banyak disentuh.
Hasil perbaikan tersebut telah dicetak pada tahun berikutnya, termasuk yang
dicetak oleh pemerintah Saudi Arabia pada tahun 1990.
Minat masyarakat untuk memahami kitab
sucinya melalui al-Qur’an dan terjemahnya akhir-akhir ini semakin meningkat
sehingga berbagai saran dan kritik yang konstruktif terhadap terjemahan
Departemen Agama perlu disikapi secara arif. Sejalan dengan itu Departemen
Agama melalui Lajnah Pantashih Mushab al-Qur’an melakukan kerja sama dengan
yayasan Imam Jama dalam upaya penyempurnaan al-Qur’an dan terjemahnya tersebut.
Untuk menafsirkan al-Qur’an dan
tafsirnya, Menteri Agama pada tahun 1971 membentuk tim penyusun yang disebut
Dewan Penyelenggara Penafsir Al-Qur’an yang diketahui oleh Prof. H. Bustami A.
Gani dan selanjutnya disempurnakan lagi dengan KMA No. 30 tahun 1980 dengan
ketua tim Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML.
Kehadiran tafsir al-Qur’an Departemen
Agama pada awalnya tidak secara utuh dalam 30 juz, malainkan bertahap.
Percetakan pertama kali dilakukan pada tahun 1975 berupa jilid I yang berupa
juz I sampai dengan juz III, kemudian menyusul jilid-jilid selanjunya pada
tahun berikutnya. Untuk percetakan secara lengkap 30 juz, baru dilakukan pada
tahun 1980 dengan format dan kualitas yang sederhana. Kemudian pada penerbit
berikutnya secara bertahap dilakukan penyempurnaan disana sini yang
pelaksanaanya dilakukan oleh Lajnah Pentashih tafsir yang relative agak luas
pernah dilakukan pada tahun 1990, tetapi juga tidak mencakup perbaikan yang
substasial, melainkan lebih banyak pada aspek kebahasaan.
Dengan demikian tafsir tersebut telah
berulang kali dicetak dan diterbitkan oleh pemerintah maupun oleh kalangan
penerbit swasta dan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Penjelasan yang disampaikan
Rasulullah saw terhadap al-Qur’an bukan buah pikiran beliau, melainkan
bersumber dari wahyu, meskipun beliau menyampaikanya dengan bahasa sendiri. Berbeda
dengan Rasulullah saw, para sahabat hanya memahami al-Qur’an secara garis
besar. Apabila diseleksi untuk menemukan beberapa sahabat yang paling banyak
memberikan penafsiran tentang ayat-ayat al-Qur’an, maka ada sepuluh sahabat
yang utama dalam bidang tafsir. Diantara sepuluh sahabat yang banyak memberikan
penafsiran tentang ayat-ayat al-Qur’an, Ibnu ‘Abbas adalah sahabat yang paling
banyak, paling utama, dan paling dalaam pengetahuanya mengenai tafsir
al-Qur’an.
Tafsir di massa sahabat memiliki empat sumber,
yaitu; al-Qur’an al-Karim, Nabi saw, Tafsir al-Qur’an dengan pendapat sahabat,
dan Ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Ilmu tafsir mengalami penyebaran melalui
para sahabat yang menyebar keberbagai penjuru seiring dengan meluasnya wilayah islam sejak zaman Rasulullah
saw dan para khalifah sesudah beliau.
Maka, pada saat itulah berdiri
madrasah-madrasah tafsir yang mansyur, dimana gurunya adalah para sahabat dan
muridnya adalah para tabi’in, sebagai contoh, madrasah tafsir di Mekah,
Madinah, dan Irak. Ketiga madrasah inilah yang paling mansyur dikala itu.
Periode tabi’in dimulai dengan berakhirnya generasi
sahabat, dimana mereka belajar langsung dari sahabat, sumber penafsiran pada
masa tabi’in adalah Al-Qur’an al-Karim, hadits Nabi saw, pendapat sahabat, ahli
kitab, dan ijtihad. Ulama berbeda dalam menyikapi penafsiran tabi’in ketika
tidak ada riwayat dari Rasulullah saw atau dari sahabat. Secara garis besar,
ada dua sikap ulama terhadap penafsiran tabi’in yaitu menerima dan menolak.
B.
SARAN
Makalah ini
sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami dari penyusun makalah ini
sangat mengharapkan kritik, saran,dan masukan dari pembaca dan dosen pebimbing
agar makalah ini jadi lebih sempurna.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Jakarta : Lentera Hati,
2013.
Abd Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, Jakarta: Amzah,
2010.
Khalid Utsman al-Sabt, Qawaid al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, Mesir:
Dar Ibn Affan, 1423.
Langganan:
Postingan (Atom)