Materi Pengayaan UN Bahasa Indonesia 2014
Download Di Sini
Kamis, 31 Maret 2016
Rabu, 30 Maret 2016
istihsan, istishab dan maslahah mursalah
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam ilmu ushul fiqh kita akan banyak diperkenalkan
pada pembahasan tentang berbagai macam sumber dan dalil hukum yang tidak
disepakati. Dalil-dalil hukum tersebut
para jumhur ulama ada dalil hukum yang tidak disepakati dan dalil yang
disepakati. Tetapi dalam makalah ini kami akan membahas tentang sumber dan
dalil hukum yang tidak di sepakati .
Dari dalil hukum yang tidak disepakati sebagian
jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan
ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi dua bagian, yang sebagian
sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan
sebagai sumber hukum. Tentunya kita sebagai umat islam harus mengetahui mana
saja dalil hukum yang di sepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak di
sepakati, untuk membekali diri kita dalam mengambil (istimbat) sebuah
hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu kepada
dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan sampai ada keraguan dalam diri kita
mengenai suatu hukum. Selain dari empat dalil hukum yag disepakati yang mana
para ulama sepakat, tetapi ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama islam
tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut sebagian diantara mereka.Ada
yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan
sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu das umber hukum yang tidak
disepakati oleh para uluma itu banyak dan yang kami temui ada lima hukum,
tetapi dalam pembahasan ada 3 yang akan dibahas yaitu Al-istihsan,Maslahah
Mursalah dan Al-istishab.
B.
Rumusan
Masalah
1. Berapakah
sumber dalil hukum yang tidak disepakati ?
2. Jelaskan
pengertian masing-masing sumber yang disepakati dan bagaimana tentang
kehujahannya ?
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui bagian-bagian sumber dalil hukum yang tidak disepakati
2. Untuk
mengetahui pengertian masing-masing dan juga bagaimana tentang
kehujjahanya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Istihsan
1. Pengertian
Istihsan
Istihsan,
secara etimologis mengandung arti “menganggap sesuatu itu baik”. Secara terminologi,
istihsan adalah berpalingnya sang
mujtahid dari tuntutan qiyas kepada
tuntutan qiyas khafiy berlandaskan
dasar pikiran tertentu yang rasaional atau berpalingnya sang mujtahid dari
tuntutan hukm kulliy kepada tuntutan hukm juz’iy berlandaskan dasar pikiran
tertentu yang rasional. Yang dimaksud dengan qiyas jaliy ialah qiyas yang
jelas ‘illat-nya, tetapi pengeruhnya dalam
mencapai tujuan syariat lemah, ia sering diungkapkan dengan nama qiyas. Sedangkan qiyas khafiy adalah qiyas yang samar ‘illat-nya, tetapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan syariat kuat.
Adapun hukm kulliy adalah kaidah hukum yang bersifat universal dan berdaya laku
umum, sedang hukm juz’iy adalah
kaidah hukum yang bersifat particular dan berdaya laku spesifik[1].
Para
ulama Maliki merupakan golongan ulama yang sering mengaplikasikan dalil
istihsan sebagai dalil hukum. Ada sejumlah definisi ihtihsan yang dikemukakan
oleh mereka, sebagaimana dipaparkan berikut ini.
Menurut
Ibnu al-Arabi, istihsan adalah
meninggalkan kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberikan rukhsan
karena berbeda hukumnya dalam beberapa hal. Ibnu al-Arabi menambahkan, istihsan
adalah beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat, berpegang
kepada dalil umum apabila dalil itu bisa terus berlaku dan bepegang kepada qiyas apabila qiyas itu berlaku umum[2].
Dari
definsi yang dikemukakan di atas, melihat bahwa Ibnu al-Arabi memberikan
pengertian yang lebih luas terhadap istihsan,
berpegang kepada dalil apa pun yang bertentangan dengan keumuman nash atau qiyas. Sesuai dengan pengertian itu, ia membagi istihsan kepada empat macam yaitu:
a) Istihsan
dengan ‘Urf (istihsan bi al-‘Urf)
Imam
Malik mengatakan bahwa mazhabnya meninggalkan dalil umum karena ada ‘Urf. Contoh kasusnya, yakni apabila si B
bersumpah tidak akan memasuki setiap tempat yang bernama rumah, masjid,
misalnya, si B berarti telah melanggar sumpahnya. Akan tetapi, berdasarkan
istihsan, dengan men-taksis keumuman lafal dengan ‘Urf, masuk masjid tidaklah melanggar sumpah tersebutt karena masjid
menurut ‘Urf tidak dinamakan rumah[3].
b) Istihsan
dengan al-Maslahah (istihsan bi al-Maslahah)
Adapun
meninggalkan dalil umum dengan dasar al-Maslahah,
dicontohkan dengan kasus beban penjaminan atau pertanggungan buruh yang
berkongsi. Berdasarkan kaidah asl, buruh yang berkongsi merupakan orang yang
tepercaya dan orang yang demikian tidak perlu dibebani penjaminan atau pertanggungan
dan beliau meninggalkan kaidah al-asl
di atas pada masa beliau hidup, dikalangan buruh nyaris leanyap rasa tanggung
jawab dan marak kelakuan Khianat, dan inilah sisi al-Maslahah dimaksud. Jadi al-Maslahah
ini dijadikan dasar dari pengecualian kaidah al-asl[4].
c) Istihsan
dengan Ijma’ (istihsan bi al-Ijma’)
Adapun
meninggalkan kaidah umum atau dalil umum dengan dasar ijma’ dicontohkan dengan kasus kewajiban orang yang memotong ekor
keledai tunggangan untuk membayar seluruh harga keledai itu. Hal ini dianggap
pengecualian dari kaidah umum atau kaidah al-asl
karena kaidah umum atau kaidah asl menetapkan kewajiban seorang membayar
kerugian sebesar harga yang berkurang dari keledai itu sebagai akibat
perbuatanya. Inilah kaidah umum atau kaidah al-asl
tersebut. Akan tetapi, Ijma’
menyatakan kledai tanggungan yang digunakan untuk kendaraan bila di
cacatkan/dirusak sebagian tubuhnya, harus diganti secara keseluruhan. Imam
Malik menjadikan ijma’ ini sebagaia
sandaran bagi aplikasi istihsan terhadap kasus tersebut, yakni si pemotong ekor
keledai tunggangan itu harus membayar seluruh harga keledai itu[5].
d) Istihsan
dengan kaidah Raf’ al-Harj wa al-
Masyaqqah
Kaidah
Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah
(menghilangkan kesulitan atau kesukaran) merupakan kaidah yang bersifat qat’iy. Contohnya, kasus pemakaian kamar
mandi umum tanpa ketentuan jumlah harga sewa, lama sama pemakaian dan jumlah
air yang digunakan. Menurut kaidah umum atau kaidah al-asl, kasus demikian
dilarang sebab mengandung garar.
Berdasarkan istihsan kasus demikian dibolehkan dengan dasar pertimbangan Raf al-Haj wa al-Masyaqqah
(menghilangkan kesulitan atau kesukaran) karena pemakaian kamar mandi umum
seperti demikian sudah menjadi kebutuhan masyarakat yang tidak bisa dihindari (li al-hajah)[6].
2. Kedudukan
istihsan
Para
ulama Malikiyah dan Hanafiyah berpandangan bahwa istihsan dapat menjadi dalil
syara’ (hujjah syar’iyyag). Untuk
mendukung pandangan ini, mereka mengemukakan argumen-argumen Al-Qur’an, hadis,
dan Ijma’, seperti diuraikan berikut ini[7].
a) Surah
al-Zumar (39):18:
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÊÑÈ
“Mereka yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”
b) Surah
al-Zumar (39):55:
(#þqãèÎ7¨?$#ur z`|¡ômr& !$tB tAÌRé& Nä3øs9Î) `ÏiB Nà6În/§ ó
Dan ikutilah
sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.
Menurut
para ulama Malikiyyah dan Hanafiyah, ayat pertama memuji orang-orang yang
mengikuti pendapat yang paling baik. Sedangkan ayat kedua memerintahkan untuk
mengikuti yang paling baik dari apa yang diturunkan Allah swt.
c) Surah
al-Baqarah (2):185:
ÈßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$#
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki
kesukaran bagi kalian”.
d) Hadis
“apa yang dipandang
baik oleh kaum muslim maka hal itu juga baik di sisi Allah SWT. (H.R. Ahmad)
e) Ijma’
Adapun
ijma’ yang mereka jadikan argumen ialah ijma’ tentang kebolehan akad pemakaian
kamar mand umum tanpa ada kejelasan kadar air yang digunakan dan lamanya masa
pemakaian.
Imam
Syafi’i memahami istihsan sebagai pendapat yang tidak bersandarkan kepada al-khabar berupa salah satu dari empat
dalil syara’, yakni al-Qur’an, hadis, ijmaq dan qiyas. Apabila seorang mujtahid memfatwakan suatu hukum dan hukum
itu tidak di ambil dari al-khabar tersebut,
baik secara bi al-Nas maupun bi al-Istinbat maka itu dinamakan istihsan. Menurut beliau, haram hukumnya bagi seorang berpendapat
dengan berdasarkan istihsan apabila istihsan ini bertentangan dengan al-khabar[8].
3. Kehujjahan
Istihsan.
Pendapat ulama terbagi dalam dua kelompok tentang
kehujjahan Istihsan. Pertama kelompok
yang berpendapat bahwa Istihsan adalah
dalil syara’. Mereka ini adalah Mazhab
Hanazi, Maliki, dan Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan
kelompok kedua yang menolak penggunaan Istihsan
sebagai dalil syara’ adalah as-Safi’i,
Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syia’ah.
Mereka berpendapat bahwa menggunakan istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa
nafsu untuk bersenang-senang, dengan menggunakan nalar murni untuk menentang
hukum yang ditetapkan dalil syara’. Diantara mereka adalah Imam Syafi’i. bahkan
diinformasikan bahwa dalam menolak kehujjahanya sebagai dalil syara’, Imam
syafi’i berkata “barang siapa yang
menggunakan istihsan berarti ia telah menetapkan hukum syara’ sendiri”[9].
B. Al-Istishab
1. Pengertian
Secara
etimologi istishab berarti meminta
kebersamaan (thalab al-mushahabah),
atau berlanjutnya kebersamaan (istimrar ash-ahuhbah). Sedangkan secara
terminologi, terdapat beberapa definisi istishab
yang dikemukakan ileh para ulama, antara lain:
a) Menurut
asy-Syaukani
Tetap berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang
mengubahnya
b)
Menurut Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyyah (w.715 H)
Mengukuhkan berlakunya sutu hukum yang telah ada, atau
menegasikan sutu hukum yang memang tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang
mengubah keadaan tersebut.
c)
Menurut Ibnu
Hazm
Tetap berlakunya suatu hukum didasarkan atas nash,
sampai ada dalil yang menyatakan berubahnya hukum tersebut.
Dari ketiga definisi yang di kemukakan ulama
diatas,dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan istishab memilik i beberapa
unsur ketentuan sebagai berikut:
a)
Setiap hukum
yang telah ada pada masa lalu, baik dalam bentuk itsbat (pengukuhan suatu
hukum) maupun dalam bentuk nafy (penegasian hukum), maka hukum tersebut
dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang.
b)
Perubahan hukum
yang ada hanya dapat terjadi , jika terdapat dalil yang merubahnya.
c)
Ibnu Hazm
menegaskan pengakuan terhadap berlakunya hukum dimasa lalu itu harus
berdasarkan dalil nashsh.
2. Dalil
Kehujjahan al-istishab
Ada
dua dalil kehujjahan al-istishab
yaitu:
a) Syara’
Berbagai
hasil penelitian menunjukkan , bahwa suatu hukum syara’ senantiasa tetap
berlaku, selam belum ada dalil yang mengubahnya, Contohnya syara’ menetapkan
bahwa semua minuman yang memabukkan itu haram, kecuali jika terjadi perubahan
pada sifatnya. Jika sifatnya memabukkannya hilang, karena berubah menjadi cuka,
misalnya, maka hukumnya juga berubah dari haram menjadi halal.
b) Logika
Logika
yang benar pasti mendukung sepenuhnya prinsip al-istishab. Contoh jika seseorang telah dinyatakan sah melakukan
perkawinan dengan seorang wanita, maka logika dengan mudah menetapkan bahwa
status perkawinan mereka tetap belku kecuali ada dalil lain yang mengubahnya,
misalnya, karena suami menceraikan istrinya.
3. Macam-Macam Al-Istishab
a) Istishab hukm al-ibahah
al-ashliyyah (tetap berlakunya hukum mubah yang dasar).
Maksudnya
adalah seseorang boleh melakukan atau menggunakan segala sesuatu yang
bermanfaat selama tidak ada dalil syara’
yang menegaskan hukum tertentu terhadapnya.Namun istishab bentuk ini hanya
berlaku pada bidang muamalah saja.
Berdasarkan
alil istishab ini, maka semua jenis
makanan dan miniman yang tidak ada larangan syara’
terhadapnya, maka ia boleh dimakan, selama ia bermanfaat.Ketentuan istishab bentuk pertama ini didasarkan
pada firman Allah swt. yaitu: “Surah al-Baqarah 29”
Akan
tetapi perlu ditegaskan, ketentuan yang sebaliknya yaitu, pada dasarnya, segala
sesuatu yang membahyakan (menimbulkan mudarat) adalah haram, meskipun tidak ada
dalil khusus yang menegaskanya. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullah saw
yang berbunyi:
لا ضر رولا ضرار
Artinya “tidak ada kemudharatan dan tidak ada yang
memudaratkan (di dalam islam)”.
Hadits diatas mengandung pengertian umum yaitu
melarang segala macam bentuk yang membahayakan. Sebab, menurut kaidah bahasa
Arab bentuk kata nakirahdalam konteks nafy, berlaku umum. Dalam
konteks ini, kata dharar menunjuk semua pengertian yang mengandung
kemudaratan.
Selanjutnya, perlu dijelaskan, sebagian ulama
mengistilahkan istishab ini dengan istishab al-Bara’ah al-Ashliyyah (tetap
berlakunya ketentuan sama sekali bebas dari kewajiban) atau Bara’ah al-‘Adam
al-Asliyyah (tetapnya ketentuan sama sekali tidak ada kewajiban).
Penggunaan istilah ini karena melihat dari segi tidak adanya kewajiban syara’ bagi seseorang, sampai ada dalil
yang menunjukkan adanya kewajiban terhadap dirinya. sebagai contoh, seorang
anak kecil tidak memiliki kewajiban syara’ (taklif), kecuali ia telah
mencapai usia baligh (mukallaf).
b)
Istishab ma dalla asy-syar’ aw al-aql ‘ala wujudih (istishab terhadap sesuatu yang menurut akal atau
syara’ diakui keberadaanya).
Contoh istishab
bentuk kedua ini adalah, tetap berlakunya hak kepemilikan ketika ada sebabnya,
misalnya karena akad, sampai ada alas an lain yag menghilangkan hak tersebut.
Demikian juga, tetapnya tanggung jawab membayar utang, misalnya karena
merusakkan barang orang lain, sampai ada bukti bahwa utang tersebut telah
dibayar atau karena dibebaskan oleh yang berpiutang.
Contoh lainya, tetapnya wudhu setelah seseorang
berwudhu, sampai terbukti bahwa wudhunya telah batal, misalnya karena buang
angin. Karena itu, berdasarkan istishab, wudhu tidak batal hanya karena
perasaan ragu-ragu tentang masih tetap atau batalnya wudhu seseorang.
c)
Istishab al-‘Umum ila an yarid at-takhshis (menetapkan hukum yang berlaku umum sampai ada yang
mengkhususkanya).
Pada dasarnya semua ulama juga sepakat dengan istishab bentuk yang ketiga ini, karena
konteks pembicaraan pada bentuk yang ketiga ini berkaita dengan waktu setelah
datangnya syariat sampai berhentinya wahyu karena wafatnya Rasulullah saw.
Persoalan yang timbul hanya berkaitan dengan perbedaan pendapat dikalangan
ulama tentang criteria yang harus dipenuhi untuk menyatakan suatu nashash
bersifat ‘amm atau khashsh. Demikian juga perbedaan disekitar apakah
suatu nashash dipandang tetap berlaku atau sudah di-naskh oleh
dalil lain.
d)
Istishab al-khashsh bi al-washf (tetapnya suatu hukum yang secara khusus berkaitan
dengan sifat).
Para ulama yang berbeda pendapat dalam menjadikan
bentuk istishab yang keempat ini
sebagai dalil syara’. Dalam hal ini
ulama syafi’iah dan hanbaliyah secara mutlak menerimanya sebagai dalil syara’.
Sedangkan ulama hanafiah dan Malikiah berpendapat, istishab bentuk ini hanya dapat menjadi dalil untuk menolak
ketentuan hukum yang baru (shalih li ad-daf’i), tetapi tidak dapat
menjadi dalil untuk menetapkan hukum yang baru (ghair shalih al-itsbat).
Contohnya jika seorang laki-laki dinyatakan hilang dalam waktu yang lama (al-mafiud),
maka pada masa hilangnya, ia tetap dinyatakan hidup, kecuali jika ada bukti
yang menyatakan bahwa ia telah wafat atau pengadilan memutuskan bahwa ia telah
dinyatakan wafat. Berdasarkan sifat hidupnya itu, haratanya tidak boleh
dibagi-bagi sebagai harta warisan. Demikian juga istrinya, tidak boleh
melakukan perkawinan dengan laki-laki lain, karena statusnya masih tetap
sebagai istri laki-laki tersebut. Inilah yang disebut dengan istilah shalih
li ad-daf’i artinya, menolak adanya ketentuan hukum baru (yaitu wafat)
terhadap dirinya, sehingga hartanya tidak boleh dihukumkan sebagai harta
warisan. Sebatas keduduan hukumnya ini, para ulama dari ke empat mazhab di atas
masih sepakat. Akan tetapi, tentang apakah laki-laki yang hilang itu berhak
mendapat warisan dari pewarisnya yang wafat ketika hilangnya, dan boleh
ditetapkan sebagai penerima wasiat dari orang yang berwasiat ataukah
tidak?Persoalan inilah yang disebut dengan istilah li al-itsbat.Artinya, melahirkan hukum baru yang berkaitan dengan
hak mewarisi dan menerima wasiat.
Dalam pada itu, menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanbaliah, karena ia dinyatakan tetap hidup, maka
sebagaimana hartanya tidak boleh dibagi sebagai harta warisan, maka ia juga
dinyatakan tetap berhak untuk menerima warisan dan wasiat. Sementara menurut
ulama’ hanafiyah dan malikiyah, laki-laki tersebut tidak berhak mendapat hak
warisan dan wasiat selama hilangnya. Oleh karena itu, jika ia menjadi ahli
waris daei orang yang wafat pada masa hilangnya, maka bagian warisannya
ditangguhkan sampai jelas statusnya sebagai orang yang masih hidup untuk
menerima warisan. Apabila pengadilan memutuskan bahwa ia telah wafat, maka
harta warisan yang ditangguhkan itu dibagi dengan cara yang baru, yaitu
berdasarkan ketentuan bahwa ia dipandang telah wafat ketika npawaris yang
pertama meninggal dunia. Dengan demikian, harta warisan dibagi diantara ahli
waris yang berhak menerima harta warisan ketika ia wafat. Sedangkan hartanya
sendiri diwarisi oleh ahli waris yang masih hidup ketika ia wafat atau
dinyatakan wafat oleh pengadilan.
Selanjutnya, berdasarkan prinsip al-istishab dan
beberapa dalil lainnya, ulama’ merumuskan beberapa kaidah fikih sebagai berikut
1.
Pada dasarnya,
tetap berlakunya hukum sesuatu sebagaimana adanya. Contoh kaidah ini, antara
lain , kasus tentang orang yang hilang sebagaimana telah dikemukakan diatas.
2.
Pada dasarnya,
segala sesuatu adalah boleh.
Berdasarkan
kaidah ini, semua bentuk transaksi atau akad dalam bidng muamalah di pandang
sah, selama tidak ada dalil syara yang menyatakannya batal atau fasad.
3.
Pada dasarnya,
dalam masalah tanggung jawab, bebas dari kewajiban dan hak[10].
C.
Maslahah
Mursalah
1. Pengertian
Kata
“maslahah” merupkan bentuk masdar
dari kata kerja salahah dan saluha, yang secara etimologis berarti: manfaat,
faedah, bagus, baik, patut, layak, sesuai. Dari sudut pandang ilmu saraf ((morfologi), kata “maslahah” satu wazn
(pola) dan makna dengan kata manfaah.
Kedua kata ini (maslahah dan manfaah) telah di indonesiakan menjadi
“maslahat dan manfaat”.
Dalam
bahasa Arab, kata maslahah, selain merupakan bentuk masdar juga merupakan ism, yang bentuk jamaknya adalah
masalih.dalam kamus lisan al-arab disebutkan bahwa al-Maslahah, al-Salah, wa
al-Maslahah wahidat al-Masalih (al-maslahah, al-salah, dan maslahah yang
merupakan bentuk tunggal dari kata masalih yang berarti kebaikan).
Secara
terminologis, al-maslahah adalah
kemanfaatan yang dikehendaki oleh allah untuk hamba-hambanya,baik berupa
pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri merreka, pemeliharaan
kehormatan disri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun
berupa pemeliharaan harta kekayaannya mereka.
Dengan
mengacu kepada arti terminologis, para ulama ushul fiqh kemudian membuat
kategorisasi al-maslahah. Dari segi tingkatan (peringkat) daruriyyat, al-Hajiyyat,
dan al-Tahsiniyyat. Yang dimaksud al-Daruriyyat adalah al-Maslahah yang dikandung oleh segala
perbuatan dan tindakan tidak boleh tidak, demi tegaknya kehidupan manusia di
dunia. Yang dimaksud al-hajiyat adalah almaslahat yang di kandung oleh segala
perbuatan dan tindakan demi mendatangkan kelancaran, kemudahan, dan kesuksesan
bagi kehidupan manusia secara utuh menyeluruh. Sedangkan al-Tahsinyyat adalah al-Maslahah
yang dikandung oleh segala perbuatan dan tindakan demimendatangkan keindahan,
kesantunan, dan kemuliaan bagi kehidupan manusia secara utuh menyeluruh.
Dari
segi pengakuan al-Syari’ atasnya, al-Maslahah dikategorisasi oleh ulama
ushul fiqih menjadi 3 (tiga) macam pula yaitu, al-Maslahah al-Muqtabarah, al-Maslahah
al- Mulgah dan al-Masalahah al-Mursalah.
Pertama
al-Muslahan al-Mu’tabarah yakni al-Maslahah
yang di akui secara eksplisit oleh syara’ dan di tentukan oleh dalil nas yang
spesifik. Al-Maslahah ini disepakati
para ulama karena merupa hujjah syar’iyyah yang falid dan otentik, sebagai
contoh di dalam QS. Al- Baqarah (2) : 222 terdapat norma bahwa istri yang sedang
menstruasi (haid) tidak boleh (haram) disetubuhi oleh suaaminya karena factor
adanya bahaya penyakit yang ditimbulkan.
Kedua
al-Maslahah al-Mulgah, yakni al-Maslahah yang tidak di akui oleh
syara’ bahkan di tolak atau di anggap batil oleh syara’ sebagai contoh, opini
hukum yang menyatakan porsi hak warisan perempuan dengan mengacu pada dasar
pikiran semangat kesetaraan jender.
Ketiga
Al-Maslahah al-Mursalah, yakni al-Maslahah yang tidak di akui
secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula di tolak dan di anggap batil oleh
syara’, tetapi masih sejalan secara substantive dengan kaidah-kaidah hukum yang
universal. Sebagai contoh, kebijakan hukum
perpajakan yang di tetapkan oleh pemerintah. Kebijakan demikian tidak di
akui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula di tolak atau palsu oleh
syara’. Akan tetapi, kebijakan tersebut berjalan secara substantive dengan
kaidah hukum universal, yakni tasarruf
al-imam ‘ala al-iyyah manut-un bi
al-maslahah. Dengan demikian kebijakan tersebut mempunyai landasan syar’iyyah
yakni Maslahah Mursalah.
2. Kedudukan
Maslahah Mursalah
Kalangan
ulama Malikiyyah dan ulama Hanafyyah berpendapat bahwa Maslahah Mursalah
merupakan hujjah syara’iyyah dan dalil hukum islam[11].
Imam
malik adalah imam madzahab yang menggunakan dalil maslahah mursalah. Untuk
menerapkan dalil ini, ia mengajukan tiga syarat yg dapat difahami melalui
definisi tersebut.
a) Adanya
persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai dalil yang berdiri sendiri
dengan tujuan-tujuan syariat (Maqashid as-Syari’ah). Dengan adaanya persaratan
ini, berarti maslahat tidak boleh menegasikan sumber dalil yang aiin, atau
bertentangan dengan dalil yang qat’iy. Akan tetapi harus sesuai dengan
maslahat-maslahat yang memang iingin diwujudkan oleh syari’. Misalnya, jenis
maslahat itu tidak asing, meskipun tidakdi perkuat dengan adanya dalil khas.
b) Maslahat
itu harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan
pemikiran yang rasional, dimana seanndainya di ajukan kepda kelompok rasioanal
akan dapat diterima.
c) Penggunaan
dalil maslahah ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang mesti
terjadi (raf u haraj lazim). Dalam pengertian, seaindainya maslahat yang dapat
diterima akal itu tidak diambil,
niscaaya manusia akan mengalami kesulitan. Allah berfirman:
$tBur @yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4 4
Artinya: dan dia tidak sekali-kali menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan.(QS. Al-hajj:78).
3. Kehujjahan
Maslahah Mursalah
Golongan
Maliki sebagai pembawa bendera Maslahah Mursalah, sebagaimana telah disebutkan,
mengemukakan tiga alasan sebagai berikut:
a. Praktek
para sahabat yang telah menggunakan Maslahat Mursalah, diantaranya:
1) Sahabat
mengumpulkan ala-Qur’an kebeberapa mushaf. Padahal hal ini tidak pernah
dilakukan pada masa Rasulullah saw. Alasan yang mendorong mereka melakukan
pengumpulan itu tidak lain kecuali semata-mata karena Maslahat, yaitu menjaga al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan
kemutawatirnya karena meninggalkannya sejumlah besar hafidh dari generasi
sahabat. Selain itu bukti nyata dari allah swt adalah:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Artinya: “sesungguhnya kamilah yang menurunkan
al-quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”. (QS.al-hijr: 9).
2) Khulafa ar-rasyidun
menegaskan menanggung mengganti rugi kepada para tukang. Padahal menurut hukum
asal, bahwasanya kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan (amanah). Akan
tetapi ternyata seandainya mereka tidak dibebani tanggug jawab mengganti rugi,
mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk menjaga harta
benda orang lain yang berada dibawah tanggung jawabnya.
3) Umar
bin khattab RA memerintahkan para penguasa (pegawai negri) agar memisahkan
antara harta kekayaan pribadi dengan harta yang diproleh dalri kekuaaannya.
Karena umar melia bahwa karena dengan cara itu para pegawai/penguasa dapat
menunaikan tugasnya dengan baik, tercegah dari melakukan manipulasi dan
mengambil harta glanimah (rampasan) ddengan cara yang tidak halal.
4) Para
sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jama’ah)
lantaran membunuh satu orang jika mereka secara bersama-bersama melakukan
pembunuhan tersebut, karena mereka kemaslahatan menghendakinya. Alasanya, orang
yang dibunuh adalah ma’sum (terpelihara)
darahnya, sementara ia telah dibunuh dengan sengaja. Seandainya kita
berpendapat bahwa sekelompok orang (jama’ah) tidak dikenakan hukuman mati
dengan membunuh satu orang, maka dalam kasus semacam itu menumpahkan darah
seseorang oleh orang banyak sama artinya dengan menghindarkan dari hukuman qishas. Sebab untuk melakukan pembunuhan
terhadap satau orang, cukup bisa dilakukan oleh dua orang. Maka setiap orang
yang ingin selamat dari sangsi hukuman qishas
ia bisa melakukan pembunuhan bersama orang lain (cukup berdua), dan keduanya
terbatas dari sanksi hukuman tersebut, sementara lawanya mati terbunuh. Oleh
karena itu kemaslahatan mendorong untuk diterapkanya hukuman mati terhadap
seluruh anggota kelompok (jama’ah) hanya karena membunuh satu orang dibunuh di
daerah Shan’a, kemudian Umar membunuh
mereka semuanya dan berkata “seandainya
seluruh penduduk shan’a bersama-sama membunuhnya, niscaya aku bunuh semua”
lihat al-I’tisham, juz 2, hlm. 287-302.
b. Adanya
maslahat sesuai dengan maqasid as-syari’
(tujuan-tujuan syari’), artinya dengan mengambil maslahat berarti sama artinya
dengan merealisasikan maqasid as-syari’.
Sebaliknya mengesampinkan maslahat berarti mengesampingkan maqasid as-syari’. Sedangkan mengesampingkan maqasid as-syari’ adalah batal. Oleh karena itu wajib menggunakan
dalil maslahat atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri.
c. Seandainya
maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat selama
berada dalam konteks maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan
mengalami kesulitan dan kesempitan. Allah berfirman:
$tBur @yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4 4
Artinya: “dan dia tidak sekali-kali menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan”.(QS. Al-Hajj: 78)
Firman allah yang lain:
ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# ÇÊÑÎÈ
Artinya: “allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu”.(QS. Al-baqarah : 185).
Demikian alasan-alasan
yang yang dikemukakan oleh imam malik.[12]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sumber dan dalil hukum yang tidak disepakati
al-Istihsan, al-Istishab, dan Maslahah Mursalah. , istihsan adalah meninggalkan kehendak dalil dengan cara
pengecualian atau memberikan rukhsan karena berbeda hukumnya dalam beberapa
hal. Dan Istishab adalah mengukuhkan berlakunya sutu hukum yang telah ada, atau
menegasikan sutu hukum yang memang tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang
mengubah keadaan tersebut. Sedangkan al-Maslahah
adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh allah untuk hamba-hambanya,baik berupa
pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri merreka, pemeliharaan
kehormatan disri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun
berupa pemeliharaan harta kekayaannya mereka. Adapun kehujjahan ketiganya
adalah pertama kehujjahan istihsan
terbagi menjadi dua, yaitu pertama kelompok yang berpendapat bahwa Istihsan adalah dalil syara’, Sedangkan
kelompok kedua yang menolak penggunaan Istihsan
sebagai dalil syara’. Dan kehujjahan istishab terbagi menjadi dua yaitu, syara’
dan logika. Sedangkan kehujjahan Maslahah Mursalah terbagi menajdi tiga yaitu:
praktik para sahabat, adanya maslahat sesuai dengan maqasid as-syari’, dan tanpa adanya maslaha
mursalah para mukalaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.
B.
Saran
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami dari penyusun
makalah ini sangat mengharapkan kritik, saran,dan masukan dari pembaca dan
dosen pembimbing agar makalah ini jadi lebih sempurna. Dan semoga makalah ini
membawa manfaat dan Barokah bagi para pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmawi,
perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta:
Amzah, 2011.
Dahlan,
Abdul Rahman, Ushul Fiqh. Jakarta:
Amzah, 2014.
Abu
Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh. Jakarta:
pustaka Firdaus. 2012.
[1] Al-Sarakhsi, al-Mabsut,(Mesir:Matba’ah
al-Sa’adah, 1321 H), Juz ke-10, hlm. 145.
[2] Ini sebagaiman dikutip dari al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, (Beirut; Dar
al-Fikr,1990), Juz ke-2, hlm. 140.
[3]
Husain Hamid Hissan, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamiy,(Beirut: Dar
al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1971), hlm. 250.
[4] Husain Hamid Hassan, Nazariyyat al-Maslahah fi
al-Fiqh al-Islamiy, hlm. 250.
[5] Husain Hamid Hassan, Nazariyyat al-Maslahah
fi al-Fiqh al-Islamiy, hlm. 250-251.
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Usul al-Fiqh, hlm.
251.
[7] Husain Hamid Hassan, Nazariyyat al-Maslahah fi
al-Fiqh al-Islamiy, hlm. 597-599.
[8]
Muhammad bin Idris al-Syafi’I (selanjutnya disebut al-Syafi’i), kitab al-Rusalah, (Beirut: Dar al-Fikr,
1990), hlm.503-505. Dan al-Syafi’I, Kitab al-Umm,
(Beirut: Dar al-Fikr,1980), Juz ke-7, hlm.314.
[9] Wahbah az-Zuhaili, al-Wasith fi Ushul al-Fiqh
al-Islami, ttp. Dar al-Kitab, 1977, hlm.285.
[10] Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. ushul
Fiqh. (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 217-224.
[11]
Asmawi,perbandingan ushul fiqh,127-130
[12]
Muhamad abu zahrah,ushu fiqih,427-431
Langganan:
Postingan (Atom)