Jumat, 15 April 2016

rangkuman materi UN bahasa inggris SMP 2014

Rangkuman Materi UN Bahasa Inggris SMP 2014

Download Disini

Soal Soal UN MATEMATIKA SMP 2014

MATERI PENGAYAAN UN MATEMATIKA SMP 2014

Makalah Tafsir (Sejarah Perkembangan Tafsir dan Al-Qur'an)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Secara etimologi tafsir bisa berarti: الايضاح والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata yang samar). Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.
Menafsirkan Al-Qur’an berarti berupaya untuk menjelaskan dan mengungkapkan maksud dan kandugan Al-Qur’an. Oleh karena objek tafsir adalah Al-Qur’an, dimana ia adalah sumber pertama ajaraan islam sekaligus petunjuk bagi manusia, maka penafsiran terhadap Al-Qur’an bukan hanya hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu, suatu keharusan, bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan ini.
Penafsiran al-Qura’n telah dimulai sejak Al-Qur’an itu turun (16:44,64). Mufasirnya adalah Nabi Muhammad sendiri, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’i dan seterusnya sampai sekarang. Wacana itu menunjukkan bahwa tafsir Al-Qur’an termasuk ilmu yang pertama kali lahir dalam wacana intelektual islam.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Rasul?
2.      Bagaimana perkembangan tafsir pada masa Sahabat?
3.      Bagaimana Perkembangan tafsir pada masa tabi’in?
4.      Bagaimana kondifikasi perkembangan tafsir?
5.      Bagaimana perkembangan tafsir di Indonesia?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa Rasul.
2.      Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa sahabat.
3.      Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir pada masa tabi’in.
4.      Mengetahui dan memahami kondifikasi tafsir.
5.      Mengetahui dan memahami perkembangan tafsir di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Tafsir di Masa Rasulullah SAW.
Bangsa Arab pada masa-masa awal turunnya al-Qur’an telah mempunyai kemampuan untuk memahami maksud dalam ayat-ayat al-Qur’an. Mereka tidak perlu menanyakan makna-makna al-Qur’an maupun tafsirnya kepada Nabi SAW. Mereka sudah merasa cukup dengan kemampuan bahasa yang mereka miliki. Aspek-aspek sastra Arab telah mereka kenal sebelum mereka menerima al-Qur’an. 
Dalam kondisi seperti ini, belum dirasakan perlunya ilmu tafsir. Demikian pula untuk membentuk kelompok-kelompok studi, kecuali untuk sebagian ayat yang memang dirasa sulit bagi para sahabat. Untuk kasus seperti ini mereka akan menanyakan kepada Nabi.
Tidak seluruh ayat yang diturunkan kepada Rasulullah saw dapat dipahami dengan mudah oleh para sahabat. Beliaulah yang menerangkannya berdasarkan keterangan-keterangan yang diperoleh dari Allah, kemudian menjelaskanya dengan bahasa beliau sendiri. Penjelasan kitab suci ini bukan buah pikirab Rasul, melainkan bersumber dari wahyu, meskipun beliau menyampaikannya dengan bahasa sendiri. Allah swt berfirman:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Penjelasan di atas membawa dua konsekuensi yang tegas. Pertama, setiap penafsiran al-Qur’an hendaklah lebih dahulu memperhatikan keterangan yang beliau berikan, kemudian baru diterangkan dengan logika dan rasio. Kedua, Nabi saw merupakan pemegang otoritas tunggal sebagai penjelas dan penafsiran al-qur’an dimasa kerasulan. Kemudian setelah beliau wafat, ulama sahabat tampil menggantikan fungsi Rasulullah saw sebagai penafsir al-Qur’an. Dengan demikian, hendaknya penafsiran al-Qur’an itu menjadikan keterangan sahabat sebagai pegangan sesudah penafsiran Rasulullah saw.

B.     Tafsir di Masa Sahabat
Berbeda dengan Rasulullah saw, para sahabat hanya memahami al-Qur’an secara garis besar. Apabila diseleksi untuk menemukan beberapa sahabat yang paling banyak memberikan penafsiran tentang ayat-ayat al-Qur’an, maka ada sepuluh sahabat yang utama dalam bidang tafsir, yaitu:
1.      Abu Bakar ash-shiddiq (573 M-634 M)
2.      ‘Umar bin al-Khattab (584 M-644 M)
3.      ‘Asman bin Affan (600 M-662 M)
4.      ‘Ali bin Abu Talib (600 M-661 M)
5.      ‘Abdullah bin Mas’ud (w.625 M)
6.      ‘Abdullah bib ‘Abbas (w.687 M)
7.      Ubain bin Ka’ab (w.642 M)
8.      Zaid bin Sabit (611 M-655 M)
9.      Abu Musa al-Asy’ari
10.  ‘Abdullah bin Zubair
Empat orang ini diantaranya menjadi Khalifah Rasul. Keempatnya dinamai Khulafa’ur-Rasydin. Dari empat orang ini, ‘Ali bin Abu Talib tercatat sebagai yang paling banyak menafsirkan al-Qur’an. Sedangkan Abu Bakar ash-shiddiq, ‘Umar bin al-Khattab, ‘Asman bin Affan sedikit sekali riwayat tafsir yang berasal dari beliau. Hal itu disebabkan karena mereka terdahulu wafat dan tafsir pada masa itu belum berkembang dengan pesat. Namun, diantara sepuluh sahabat diatas, Ibnu ‘Abbas adalah sahabat yang paling banyak, paling utama, dan paling dalam pengetahuanya mengenai tafsir al-Qur’an. Rasulullah mendoakan sahabat ini sebagai berikut yang artinya”
“Ya Allah, berikanlah pemahaman keagamaan kepadanya (ibnu ‘Abbas) dan ajarkanlah tafsir kepadanya,”
Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, banyak riwayat tafsir yang disandarkan begitu saja kepada Ibnu ‘Abbas, bahkan tidak kurang pula jumlahnya orang yang sengaja memalsukan riwayat atas nama sahabat besar ini. Ada pula yang sengaja mencampur adukkan antara perkataanya dan perkataan Ibnu ‘Abbas, Imam Syafi’i pernah mengeluarkan pernyataan tentang tafsir al-Qur’an yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, yang artinya
Riwayat dari Ibnu ‘Abbas tentang tafsir itu tidak ada kuat kecuali berjumlah sekitar 100 hadits.
·       Tafsir dalam masa ini memiliki 4 sumber, yaitu:
1.      Al-Qur’an al-karim
Al-qura’an al-Karim yang dalam implementasinya disebut tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an. Diantara bentuk penafsiran ini adalah kompromi di antara kalimat-kalimat yang secara sekilas tampak berbeda seperti firman Allah SWT dalam surah al-Fatihah: “(yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[9]
[9]  yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Yang dimaksud dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah swt itu dijelaskan dalam surah an-Nisa: “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin[314], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.”
[314]  ialah: orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rasul, dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut dalam surat Al Faatihah ayat 7.
2.      Nabi saw yang dalam implementasinya disebut tafsir al-Qur’an bi as-Sunah.jika merujuk ke kitab-kitab sunnah, maka kita menemukan banyak bab tafsir didalamnya. Diantaranya adalah diriwayatkan oleh tirmizi dan perawi lain dari ‘Adi Bin Hibban. Ia berkata “Rasulullah saw bersabda, ”sesungguhnya orang-orang yang dimurkai Allah (dalam surah al-Fatihah) adalah Yahudi, dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani.
3.      Tafsir al-Quran dengan pendapat sahabat
Apabila sahabat tidak menemukan penafsiran dalam al-Qur’an, serta tidak mudah untuk mengambilnya dari Rasulullah saw, maka mereka kembali kepada ijtihad dan pendapat mereka, seperti yang dilakukan oleh Mu’az bin Jabal ketika diutus oleh Rasulullah saw untuk berdakwah disuatu  kaum. dengan ijtihad, kedua sumber penafsiran di atas disepakati diterima oleh semua sahabat, tidak demikian dengan ijtihad. Para sahabat berselisih akan diterimanya tafsir dengan pedoman ijtihad ini. Sebagian dari mereka hanya berpedoman pada riwayat saja. Akan tetapi, sebagian dari mereka selain menggunakan riwayat, juga menggunakan ijtihad. Dalam bukunya Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, Hamka menerangkan bahwa yang digunakan untuk berpegang dalam metode ini adalah kekuatan bahasa dan asbabunnuzul.
Diantara para sahabat yang tidak membenarkan tafsir dengan metode ijtihad ini adalah Abu Bakar dan Umar r.a. Sedangkan diantara sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan metode ijtihad adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas. Bahkan dengan kepandaian yang diberikan Allah kepada Ibnu Abbas kemudian ia digelari dengan Tarjuman al-Qur’an. 
Meskipun para sahabat pada waktu itu sudah menggunakan metode ijtihad, tetapi mereka tidak sampai merumuskan kaidah-kaidah balaghah maupun nahwu. Secara fithrah mereka masih memahami dengan baik citarasa bahasa Arab yang murni sebelum banyak berhubungan dengan bahasa lain. Mereka sudah memahami unsur-unsur balaghah seperti ijaz, ithnab, haqiqah, majaz, tasybih, kinayah, dan lain-lain.
4.      Ahli Kitab Dari Umat Yahudi Dan Nasrani.
Hal ini dikarenakan bahwa al-Qur’an al-Karim sejalan dengan taurat dalam beberapa masalahnya, khususnya dalam kisah para nabi dan hal-hal yang terkait dengan umat umat masa lalu seperti halnya al-Qur’an mengandung masalah-masalah yang terdapat dalam kitab-kitab injil seperti kelahiran ‘Isa putranya Maryam dan mukjizat-mukjizatanya. Hanya saja, sumber yang keempat ini tidaak banyak diambil karena banyak terjadinya penyimpangan didalamnya.

Dari 10 sahabat besar diatas, sahabat-sahabat inilah yang mengembangkan tafsir al-Qur’an kepada tabi’in. mereka menyebar ke kota-kota besar. Semula, tafsir al-Qur’an berkembang sebagai ilmu pengetahuan di Mekkah, kemudian menyusul di Madinah, dan dilanjutkan di Irak. Ibnu ‘Abbas-lah yang berjasa mengembangkan ilmu tafsir dikota Mekah karena pada massa tabi’in banyak yang berguru kepadanya. Itulah sebabnya ibnu Taimiyah mengatakan:
“orang-orang yang paling mengerti dengan tafsir adalah penduduk mekkah, sebab mereka adalah sahabat-sahabat Ibnu ‘Abba, seperti Mujahid, atau Ibnu Jubair, Tawus, dan lain-lain. Demikian pula di Kufah (mereka) adalah sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, dan ulama Madinah seperti Zaid bin Aslam”.[1]

·           Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Tafsir pada Masa Sahabat
Perbedaan penafsiran telah terjadi di zaman sahabat, meskipun perbedaan mereka ini relatif  lebih sedikit disbanding dengan perbedaan yang terjadi dimassa tabi’in dan sesudahnya. Perbedaan sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an lebih dikarena akan ketidaksamaan mereka dalam menguasai piranti-piranti yang digunakan untuk memahami al-Qur’an sebagai berikut:
1.      Tata bahasa Arab dan rahasia-rahasianya. Ia membantu memahami ayat-ayat yang pemahamanya tidak bergantung pada masa selain bahasa Arab.
2.      Pengetahuan tentang berrbagai kebiasaan masyarakat Arab. Ia membantu memahami ayat yang berhubungan dengan kebiasaan mereka. Sebagai contoh, kata an-nasi’ “sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekafiran.”(at-Taubah/9;37).
3.      Pengetahuan tentang kondisi Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab waktu al-Qur’an, khususnya untuk memahami ayat-ayat yang mengandung isyarat tentang perbuatan mereka dan bantahan terhadap meeka.
4.      Kekuatan pemahaman dan penalaran. Ini adalah karunia Allah swt yang sebagian hamba diberi lebih baik oleh Allah dari pada hamba yang lain.
5.      Diantara sahabat ada yang selalu menyertai Nabi saw. Sehingga ia banyak mengetahui as-babun-nuzul yang tidak diketahui oleh sahabat lain. Alasanya adalah karena penafsiran al-Qur’an ini tidak di lepaskan dari kontes turunnya.[2]

C.    Tafsir Dimasa Tabiin
Periode pertama berakhir ditandai dengan berakhirnya generasi sahabat. Lalu dimulailah priode kedua tafsir, yaitu periode tabi’in yang belajar langsung dari sahabat.
1.      Sumber-sumber penafsiran pada masa tabiin
a.       Al-quran
b.      Hadis nabi saw
c.       Pendapat sahabat
d.      Informasi dari ahli kitab yang bersumber dari kitab suci mereka
e.       Ijtihad tabi’in
2.      Penyebaran tafsir
Ilmu tafsir mengalami penyebaran melalui para sahabat yang menyebar keberbagai penjuru seiring dengan meluasnya wilayah islam sejak zaman Rasulullah saw dan para khalifah sesudah beliau. Maka, pada saat itulah berdiri madrasah-madrasah tafsir yang mansyur, dimana gurunya adalah para sahabat dan muridnya adalah para tabi’in, sebagai contoh, madrasah tafsir di Mekah, Madinah, dan Irak. Ketiga madrasah inilah yang paling mansyur dikala itu.
Madrasah tafsir di Mekah dipelopori oleh Ibnu ‘Abbas. Dialah yang mengajarkan tafsir kepada tabi’in, menjelaskan makna-makna yang sulit. Diantara murid Ibnu ‘Abbas  di Mekah yang Mansyur adalah Sa’id bin Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah Maula Ibnu ‘Abbas, Tawus bin Kisan al-Yamani, dan ‘Ata’ bin Rabah.
Madrasah tafsir di Madinah dipelopori oleh Ubai bin Ka;b. di Madinah kala itu ada banyak sahabat yang tidak turut berpindah ke wilayah-wilayah islam lain, dan lebi memilih mengajarkan al-Qur’an dan sunah kepada para pengikut mereka. Maka berdirilah Madrasah tafsir di Madinah tempat belajarnya para Mufassir tabi’in yang mansyur. Tiga mufassir tabi’in yang paling mansyur adalah Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah, dan Muhamad bin Ka’b al-Qarazi.
Dan di Irak juga muncul madrasah tafsir yang dipelopori oleh ‘Abdullah bin Mas’ud. Ada sahabat yang mengajarkan tafsir di Irak. ‘Abdullah bin Mas’ud dianggap sebagai guru pertama di madrasah Irak mengingat populeritas riwayat darinya.
3.      Kedudukan penafsiran Tabi’in
Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi penafsira tabi’in ketika tidak ada riwayat dari rasulullah saw atau dari sahabat ada yang menerima daan menolak.
Alasan ulama yang menolak adalah :
a.       Tidak ada kemungkinan seorang tabi’in mendengar langsung dari Rasulullah saw berbeda dengan penafsiran sahabat yang bias jadi ia mendengar dari Rasulullah saw.
b.      Tidak menyaksikan berbagai kondisi yang melingkupi turunnya al-Qur’an, sehingga bisa jadi mereka salah dalam memahami maksud, dan menduga sesuatu yang bukan Dalil.
c.       Status adil para tabi’in tidak dinaskan berbeda dengan adil para sahabat.
Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa ia berkata,”apa yang dating dari Rasulullah, maka kami terima bulat-bulat. Apa yang dating dari sahabat, maka kami pilah-pilah. Dan apa yang dating dari tabi’in, maka sejatinya mereka itu manusia dan kamipun manusia.
Namun mayoritas mufassir berpendapat bahwa ucapan tabi’in dalam bidang tafsir itu dapat diterima sebagai acuan. Karena para tabi’in itu menukil sebagian besar penafsiran mereka dari para sahabat. Mujahid, misalnya, berkata,”Aku membaca mushaf dihadapan Ibnu ‘Abbas sebanyak tiga kali dari surah al-Fatihah hingga surah an-Nas. Aku berhenti pada setiap ayat dan menanyakanya”.
4.      Karakteristik tafsir pada masa tabi’in
a.       Banyak mengambil dari kisah isra’iliyyat.
Hal ini karena banyaknya ahli kitab yang masuk islam, dan dipikirkan mereka masih melekat ajaran-ajaran kitab suci mereka, khususnya hal-hal yang tidak ada hubunganya dengan hukum-hukum syariat seperti berita tentang awal penciptaan dan lain-lain.
b.      Tafsir masih dijaga dalam sistem talaqqi dan riwayat, namun bukan talaqqi dan riwayat dengan arti komprehensif seperti yang ada pada zaman Nabi saw. Melainkan talaqqi dan riwayat yang dibatasi pada figure, seperti ulama mekah yang hanya menaruh perhatian pada riwayat dari Ibnu ‘Abbas, ulama Madinah dari Ubai, dan seterusnya.

c.       Banyaknya perbedaan pendapat para tabi’in dalam penafsiran, meskipun relatif sedikit dibandingkan dengan perbedaan pendapat yang terjadi sesudahnya.
d.      Munculnya benih-benih perbedaan mazhab.

D.    Kodifikasi Tafsir
Priode kodifikasi tafsir dimulai sejak mnculnya pembukuan, yaitu pada akhir masa pemerintahan Bani Umaiyyah dan awal masa Bani ‘Abbasiyah. Untuk itu ada beberapa tahapan, yaitu:
1.      Tafsir ditransfer melalui periwayatan: sahabat meriwayatkan dari Rasulullah saw, sebagaimana sebagian sahabat meriwayatkan dari sebagian yang lain. Lalu  tabi’in meriwayatkan dari sahabat, seperti halnya sebagian dari tabi’in meriwayatkan dari sebagian yang lain.
2.      Hadits Rasulullah saw mulai dibukukan.
Buku-buku hadits memuat banyak bab, dan tafsir merupakan salah satu bab yang termuat dalam buku-buku hadits. Pada waktu itu, belum ada karangan khusus tentang tafsir, ayat demi ayat, dari awal hingga akhir. Para penulis tafsir pada tahap ini diantaranya adala Yazid bin Harun as-Sulami, Syu’bah bin Hajjaj, Waki’ bin Jarah, dan lain-lain.
3.      Ilmu tafsir memisahkan diri dari hadits.
Sehingga menjadi ilu tersendiri. Setiap ayat dalam al-Qur’an diberiikan penafsiran dan disusun sesuai susunan mushaf. Pekerjaan ini dilakukan oleh sekelompok ulama, diantaranya Ibnu Jarir at-Tabari, Abu Bakar bin Munzir an-Nisaburi, dan lain-lain.
4.      Penulis tafsir tetap berpegang pada metode bilma’sur, namun ada perubahan dari segi sanad, di mana para penuls meringkas sanad dan penulis berbagai pendapat yang diriwayatkan dari para pendahulu mereka tanpa menisbakan pendapat tersebut kepada orang yang mengemukakanya. Maka terjadilah banyak pemalsuan dalam tafsir, riwayat sahih bercampur dengan riwayat cacat. Dan pencantuman israilliyyat dengan asumsi bahwa ia merupakan kebenaran yang pasti. Inilh awal mula terjadinya pemalsuan dan israilliyyat dalam tafsir.
5.      Terjadinya pencampuran antara pemahaman rasional dan tafsir naqli setelah sebelumnya penulisan tafsir terbatas pada riwayat dari salaf saja. Hal ini berlangsung selama masa ‘Abbasiyah hingga hari ini.

E.     Sejarah Perkembangan Tafsir Di Indonesia
Sejarah al-Qur’an dan perkembangan tefsir di Indonesia sangat erat kaitanya dengan sejarah masuknya islam ke Indonesia, mengingat al-Qur’an dan tafsir merupakan sumber utama ajaran-ajaran Islam.
Ada dua teori yang menjelaskan masuknya islam ke Indonesia, yaitu:
1.      Teori timur
Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M atau abad I H, yang disebarkan langsung melalui jalur perdagangan oleh orang-orang Arab yang bermazhab syafi’I di daerah pesisir pantai utara sumatera (malaka).
2.      Teori barat
Teori barat ini bersumber dari perjalanan Marcopolo (1292 M). hal ini lebih diperkuat oleh catatan Ibnu Batutah yang menjelaskan berdirinya Islam dipantai utara sumatera pada abad XVIII M.
Kegiatan keilmuan yang berkaitan dengan al-Qur’an di Indonesia dirintis oleh ‘Abdu Ra’uf singkel yang menerjemahkan al-Qur’an kedalam bahasa melayu pada pertengahan abad XVII. Kitab terebut bernama Tarjuman al-Mustafid, yang pernh diterbitkan di Singapura, Penang, Bombai, dan Istambul (matba’ah-‘usmaniyyah), kairo dan Mekkah. Lama setelah itu, barulah muncul beberapa took yang mengikuti jejaknya.
1.      Mahmud Yunus (tafsir al-Qur’an Indonesia, 1922)
2.      A. Hassan Bandung (al-Furqan 1928
3.      Zainudin Hamidi (tafsir al-Qur’an, 1959)
4.      Halim Hassan (tafsir al-qur’an al-Karim, 1960
5.      Hamka (tafsir al-Azhar, 1973), dan lain-lain
Upaya penerjemahan al-Qur’an dan penulisan tafsir juga dilakukan oleh pemerintah. Proyek penerjemaan al-Qur’an dilakukan oleh MPR dan dimasukkan kedalam pola satu pembangunan semesta alam berencana. Menteri agama yang ditunjuk sebagai pelaksana, bahkan telah membentuk lembaga. Yayasan penyelenggara penerjemah/penafsir al-Qur’an yang pertama kali diketehui oleh Soenarjo. Terjemahan-terjemahan al-Qur’an itu mengalami perkembangan yang pada akhirnya, atas usul Musyawarah kerja ulama al-Qur’an XV (23-25 Maret 1989) disempurnakan oleh pusat penelitian pengembangan Lektur Agama bersama Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an.
Perbaikan dan penerjemahan al-Qur’an Departemen Agama, telah beberapa kali dilakukan. Pada tahun 1989, dibawah pimpinan ketua Lajnah Drs. H.A. Hafizh Dasuki, Ma, telah dilakukan penyempurnaan yang belum menyeluruh. Tetapi hanya lebih difokuskan kepada penyempurnaan redaksional yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan bahasa Indonesia ketika itu. Sedangkan hal-hal substansial tidak banyak disentuh. Hasil perbaikan tersebut telah dicetak pada tahun berikutnya, termasuk yang dicetak oleh pemerintah Saudi Arabia pada tahun 1990.
Minat masyarakat untuk memahami kitab sucinya melalui al-Qur’an dan terjemahnya akhir-akhir ini semakin meningkat sehingga berbagai saran dan kritik yang konstruktif terhadap terjemahan Departemen Agama perlu disikapi secara arif. Sejalan dengan itu Departemen Agama melalui Lajnah Pantashih Mushab al-Qur’an melakukan kerja sama dengan yayasan Imam Jama dalam upaya penyempurnaan al-Qur’an dan terjemahnya tersebut.
Untuk menafsirkan al-Qur’an dan tafsirnya, Menteri Agama pada tahun 1971 membentuk tim penyusun yang disebut Dewan Penyelenggara Penafsir Al-Qur’an yang diketahui oleh Prof. H. Bustami A. Gani dan selanjutnya disempurnakan lagi dengan KMA No. 30 tahun 1980 dengan ketua tim Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML.
Kehadiran tafsir al-Qur’an Departemen Agama pada awalnya tidak secara utuh dalam 30 juz, malainkan bertahap. Percetakan pertama kali dilakukan pada tahun 1975 berupa jilid I yang berupa juz I sampai dengan juz III, kemudian menyusul jilid-jilid selanjunya pada tahun berikutnya. Untuk percetakan secara lengkap 30 juz, baru dilakukan pada tahun 1980 dengan format dan kualitas yang sederhana. Kemudian pada penerbit berikutnya secara bertahap dilakukan penyempurnaan disana sini yang pelaksanaanya dilakukan oleh Lajnah Pentashih tafsir yang relative agak luas pernah dilakukan pada tahun 1990, tetapi juga tidak mencakup perbaikan yang substasial, melainkan lebih banyak pada aspek kebahasaan.
Dengan demikian tafsir tersebut telah berulang kali dicetak dan diterbitkan oleh pemerintah maupun oleh kalangan penerbit swasta dan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat.







BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Penjelasan yang disampaikan Rasulullah saw terhadap al-Qur’an bukan buah pikiran beliau, melainkan bersumber dari wahyu, meskipun beliau menyampaikanya dengan bahasa sendiri. Berbeda dengan Rasulullah saw, para sahabat hanya memahami al-Qur’an secara garis besar. Apabila diseleksi untuk menemukan beberapa sahabat yang paling banyak memberikan penafsiran tentang ayat-ayat al-Qur’an, maka ada sepuluh sahabat yang utama dalam bidang tafsir. Diantara sepuluh sahabat yang banyak memberikan penafsiran tentang ayat-ayat al-Qur’an, Ibnu ‘Abbas adalah sahabat yang paling banyak, paling utama, dan paling dalaam pengetahuanya mengenai tafsir al-Qur’an.
Tafsir di massa sahabat memiliki empat sumber, yaitu; al-Qur’an al-Karim, Nabi saw, Tafsir al-Qur’an dengan pendapat sahabat, dan Ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Ilmu tafsir mengalami penyebaran melalui para sahabat yang menyebar keberbagai penjuru seiring dengan meluasnya wilayah islam sejak zaman Rasulullah saw dan para khalifah sesudah beliau. Maka, pada saat itulah berdiri madrasah-madrasah tafsir yang mansyur, dimana gurunya adalah para sahabat dan muridnya adalah para tabi’in, sebagai contoh, madrasah tafsir di Mekah, Madinah, dan Irak. Ketiga madrasah inilah yang paling mansyur dikala itu.
Periode tabi’in dimulai dengan berakhirnya generasi sahabat, dimana mereka belajar langsung dari sahabat, sumber penafsiran pada masa tabi’in adalah Al-Qur’an al-Karim, hadits Nabi saw, pendapat sahabat, ahli kitab, dan ijtihad. Ulama berbeda dalam menyikapi penafsiran tabi’in ketika tidak ada riwayat dari Rasulullah saw atau dari sahabat. Secara garis besar, ada dua sikap ulama terhadap penafsiran tabi’in yaitu menerima dan menolak.
B.     SARAN
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami dari penyusun makalah ini sangat mengharapkan kritik, saran,dan masukan dari pembaca dan dosen pebimbing agar makalah ini jadi lebih sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Jakarta : Lentera Hati, 2013.
Abd Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, Jakarta: Amzah, 2010.
Khalid Utsman al-Sabt, Qawaid al-Tafsir Jam’an wa Dirasatan, Mesir: Dar Ibn Affan, 1423.



[1] Muhabis: 290
[2] Muzakkirah Tarikh at-Tasyri al-Islami li Kulliyyah asy-syar’I’ah, h. 84