Rabu, 30 Maret 2016

istihsan, istishab dan maslahah mursalah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam ilmu ushul fiqh kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam sumber dan dalil hukum yang tidak disepakati.  Dalil-dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang tidak disepakati dan dalil yang disepakati. Tetapi dalam makalah ini kami akan membahas tentang sumber dan dalil hukum yang tidak di sepakati .
Dari dalil hukum yang tidak disepakati sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi dua bagian, yang sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum. Tentunya kita sebagai umat islam harus mengetahui mana saja dalil hukum yang di sepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak di sepakati, untuk membekali diri kita dalam mengambil (istimbat) sebuah hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu kepada dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai suatu hukum. Selain dari empat dalil hukum yag disepakati yang mana para ulama sepakat, tetapi ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut sebagian diantara mereka.Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu das umber hukum yang tidak disepakati oleh para uluma itu banyak dan yang kami temui ada lima hukum, tetapi dalam pembahasan ada 3 yang akan dibahas yaitu Al-istihsan,Maslahah Mursalah dan Al-istishab.

B.     Rumusan Masalah
1.      Berapakah sumber dalil hukum yang tidak disepakati ?
2.      Jelaskan pengertian masing-masing sumber yang disepakati dan bagaimana tentang kehujahannya ? 
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui bagian-bagian sumber dalil hukum yang tidak disepakati
2.      Untuk mengetahui pengertian masing-masing dan juga bagaimana tentang kehujjahanya  















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Istihsan
1.      Pengertian Istihsan
Istihsan, secara etimologis mengandung arti “menganggap sesuatu itu baik”. Secara terminologi, istihsan adalah berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan qiyas kepada tuntutan qiyas khafiy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasaional atau berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan hukm kulliy kepada tuntutan hukm juz’iy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang rasional. Yang dimaksud dengan qiyas jaliy ialah qiyas yang jelas ‘illat-nya, tetapi pengeruhnya dalam mencapai tujuan syariat lemah, ia sering diungkapkan dengan nama qiyas. Sedangkan qiyas khafiy adalah qiyas yang samar ‘illat-nya, tetapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan syariat kuat. Adapun hukm kulliy adalah kaidah hukum yang bersifat universal dan berdaya laku umum, sedang hukm juz’iy adalah kaidah hukum yang bersifat particular dan berdaya laku spesifik[1].
Para ulama Maliki merupakan golongan ulama yang sering mengaplikasikan dalil istihsan sebagai dalil hukum. Ada sejumlah definisi ihtihsan yang dikemukakan oleh mereka, sebagaimana dipaparkan berikut ini.
Menurut Ibnu al-Arabi, istihsan adalah meninggalkan kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberikan rukhsan karena berbeda hukumnya dalam beberapa hal. Ibnu al-Arabi menambahkan, istihsan adalah beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat, berpegang kepada dalil umum apabila dalil itu bisa terus berlaku dan bepegang kepada qiyas apabila qiyas itu berlaku umum[2].
Dari definsi yang dikemukakan di atas, melihat bahwa Ibnu al-Arabi memberikan pengertian yang lebih luas terhadap istihsan, berpegang kepada dalil apa pun yang bertentangan dengan keumuman nash atau qiyas. Sesuai dengan pengertian itu, ia membagi istihsan kepada empat macam yaitu:
a)      Istihsan dengan ‘Urf (istihsan bi al-‘Urf)
Imam Malik mengatakan bahwa mazhabnya meninggalkan dalil umum karena ada ‘Urf. Contoh kasusnya, yakni apabila si B bersumpah tidak akan memasuki setiap tempat yang bernama rumah, masjid, misalnya, si B berarti telah melanggar sumpahnya. Akan tetapi, berdasarkan istihsan, dengan men-taksis keumuman lafal dengan ‘Urf, masuk masjid tidaklah melanggar sumpah tersebutt karena masjid menurut ‘Urf tidak dinamakan rumah[3].
b)      Istihsan dengan al-Maslahah (istihsan bi al-Maslahah)
Adapun meninggalkan dalil umum dengan dasar al-Maslahah, dicontohkan dengan kasus beban penjaminan atau pertanggungan buruh yang berkongsi. Berdasarkan kaidah asl, buruh yang berkongsi merupakan orang yang tepercaya dan orang yang demikian tidak perlu dibebani penjaminan atau pertanggungan dan beliau meninggalkan kaidah al-asl di atas pada masa beliau hidup, dikalangan buruh nyaris leanyap rasa tanggung jawab dan marak kelakuan Khianat, dan inilah sisi al-Maslahah dimaksud. Jadi al-Maslahah ini dijadikan dasar dari pengecualian kaidah al-asl[4].
c)      Istihsan dengan Ijma’ (istihsan bi al-Ijma’)
Adapun meninggalkan kaidah umum atau dalil umum dengan dasar ijma’ dicontohkan dengan kasus kewajiban orang yang memotong ekor keledai tunggangan untuk membayar seluruh harga keledai itu. Hal ini dianggap pengecualian dari kaidah umum atau kaidah al-asl karena kaidah umum atau kaidah asl menetapkan kewajiban seorang membayar kerugian sebesar harga yang berkurang dari keledai itu sebagai akibat perbuatanya. Inilah kaidah umum atau kaidah al-asl tersebut. Akan tetapi, Ijma’ menyatakan kledai tanggungan yang digunakan untuk kendaraan bila di cacatkan/dirusak sebagian tubuhnya, harus diganti secara keseluruhan. Imam Malik menjadikan ijma’ ini sebagaia sandaran bagi aplikasi istihsan terhadap kasus tersebut, yakni si pemotong ekor keledai tunggangan itu harus membayar seluruh harga keledai itu[5].
d)     Istihsan dengan kaidah Raf’ al-Harj wa al- Masyaqqah
Kaidah Raf’ al-Harj wa al-Masyaqqah (menghilangkan kesulitan atau kesukaran) merupakan kaidah yang bersifat qat’iy. Contohnya, kasus pemakaian kamar mandi umum tanpa ketentuan jumlah harga sewa, lama sama pemakaian dan jumlah air yang digunakan. Menurut kaidah umum atau kaidah al-asl, kasus demikian dilarang sebab mengandung garar. Berdasarkan istihsan kasus demikian dibolehkan dengan dasar pertimbangan Raf al-Haj wa al-Masyaqqah (menghilangkan kesulitan atau kesukaran) karena pemakaian kamar mandi umum seperti demikian sudah menjadi kebutuhan masyarakat yang tidak bisa dihindari (li al-hajah)[6].
2.      Kedudukan istihsan
Para ulama Malikiyah dan Hanafiyah berpandangan bahwa istihsan dapat menjadi dalil syara’ (hujjah syar’iyyag). Untuk mendukung pandangan ini, mereka mengemukakan argumen-argumen Al-Qur’an, hadis, dan Ijma’, seperti diuraikan berikut ini[7].
a)      Surah al-Zumar (39):18:
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6­Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÊÑÈ
“Mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”
b)      Surah al-Zumar (39):55:
(#þqãèÎ7¨?$#ur z`|¡ômr& !$tB tAÌRé& Nä3øs9Î) `ÏiB Nà6În/§ ó
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.

Menurut para ulama Malikiyyah dan Hanafiyah, ayat pertama memuji orang-orang yang mengikuti pendapat yang paling baik. Sedangkan ayat kedua memerintahkan untuk mengikuti yang paling baik dari apa yang diturunkan Allah swt.
c)      Surah al-Baqarah (2):185:
È߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian”.
d)     Hadis
“apa yang dipandang baik oleh kaum muslim maka hal itu juga baik di sisi Allah SWT. (H.R. Ahmad)
e)      Ijma’
Adapun ijma’ yang mereka jadikan argumen ialah ijma’ tentang kebolehan akad pemakaian kamar mand umum tanpa ada kejelasan kadar air yang digunakan dan lamanya masa pemakaian.
Imam Syafi’i memahami istihsan sebagai pendapat yang tidak bersandarkan kepada al-khabar berupa salah satu dari empat dalil syara’, yakni al-Qur’an, hadis, ijmaq dan qiyas. Apabila seorang mujtahid memfatwakan suatu hukum dan hukum itu tidak di ambil dari al-khabar tersebut, baik secara bi al-Nas maupun bi al-Istinbat  maka itu dinamakan istihsan. Menurut beliau, haram hukumnya bagi seorang berpendapat dengan berdasarkan istihsan apabila istihsan ini bertentangan dengan al-khabar[8].
3.      Kehujjahan Istihsan.
Pendapat ulama terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan Istihsan. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa Istihsan adalah dalil syara’. Mereka ini adalah Mazhab Hanazi, Maliki, dan Mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan kelompok kedua yang menolak penggunaan Istihsan sebagai dalil syara’ adalah as-Safi’i, Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syia’ah. Mereka berpendapat bahwa menggunakan istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk bersenang-senang, dengan menggunakan nalar murni untuk menentang hukum yang ditetapkan dalil syara’. Diantara mereka adalah Imam Syafi’i. bahkan diinformasikan bahwa dalam menolak kehujjahanya sebagai dalil syara’, Imam syafi’i berkata “barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah menetapkan hukum syara’ sendiri”[9].

B.     Al-Istishab
1.      Pengertian
Secara etimologi istishab berarti meminta kebersamaan (thalab al-mushahabah), atau berlanjutnya kebersamaan  (istimrar ash-ahuhbah). Sedangkan secara terminologi, terdapat beberapa definisi istishab yang dikemukakan ileh para ulama, antara lain:
a)      Menurut asy-Syaukani
Tetap berlakunya suatu keadaan selama belum ada yang mengubahnya
b)      Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah (w.715 H)
Mengukuhkan berlakunya sutu hukum yang telah ada, atau menegasikan sutu hukum yang memang tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang mengubah keadaan tersebut.
c)      Menurut Ibnu Hazm
Tetap berlakunya suatu hukum didasarkan atas nash, sampai ada dalil yang menyatakan berubahnya hukum tersebut.

Dari ketiga definisi yang di kemukakan ulama diatas,dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan istishab memilik i beberapa unsur ketentuan sebagai berikut:
a)      Setiap hukum yang telah ada pada masa lalu, baik dalam bentuk itsbat (pengukuhan suatu hukum) maupun dalam bentuk nafy (penegasian hukum), maka hukum tersebut dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang.
b)      Perubahan hukum yang ada hanya dapat terjadi , jika terdapat dalil yang merubahnya.
c)      Ibnu Hazm menegaskan pengakuan terhadap berlakunya hukum dimasa lalu itu harus berdasarkan dalil nashsh.
2.      Dalil Kehujjahan al-istishab
Ada dua dalil kehujjahan al-istishab yaitu:
a)      Syara’
Berbagai hasil penelitian menunjukkan , bahwa suatu hukum syara’ senantiasa tetap berlaku, selam belum ada dalil yang mengubahnya, Contohnya syara’ menetapkan bahwa semua minuman yang memabukkan itu haram, kecuali jika terjadi perubahan pada sifatnya. Jika sifatnya memabukkannya hilang, karena berubah menjadi cuka, misalnya, maka hukumnya juga berubah dari haram menjadi halal.
b)      Logika
Logika yang benar pasti mendukung sepenuhnya prinsip al-istishab. Contoh jika seseorang telah dinyatakan sah melakukan perkawinan dengan seorang wanita, maka logika dengan mudah menetapkan bahwa status perkawinan mereka tetap belku kecuali ada dalil lain yang mengubahnya, misalnya, karena suami menceraikan istrinya.
3.      Macam-Macam  Al-Istishab
a)      Istishab hukm al-ibahah al-ashliyyah (tetap berlakunya  hukum mubah yang dasar).
Maksudnya adalah seseorang boleh melakukan atau menggunakan segala sesuatu yang bermanfaat selama tidak ada dalil syara’ yang menegaskan hukum tertentu terhadapnya.Namun istishab bentuk ini hanya berlaku pada bidang muamalah saja.
Berdasarkan alil istishab ini, maka semua jenis makanan dan miniman yang tidak ada larangan syara’ terhadapnya, maka ia boleh dimakan, selama ia bermanfaat.Ketentuan istishab bentuk pertama ini didasarkan pada firman Allah swt. yaitu: “Surah al-Baqarah 29”
Akan tetapi perlu ditegaskan, ketentuan yang sebaliknya yaitu, pada dasarnya, segala sesuatu yang membahyakan (menimbulkan mudarat) adalah haram, meskipun tidak ada dalil khusus yang menegaskanya. Hal ini di dasarkan pada sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
 لا ضر رولا ضرار
Artinya “tidak ada kemudharatan dan tidak ada yang memudaratkan (di dalam islam)”.
Hadits diatas mengandung pengertian umum yaitu melarang segala macam bentuk yang membahayakan. Sebab, menurut kaidah bahasa Arab bentuk kata nakirahdalam konteks nafy, berlaku umum. Dalam konteks ini, kata dharar menunjuk semua pengertian yang mengandung kemudaratan.
Selanjutnya, perlu dijelaskan, sebagian ulama mengistilahkan istishab ini dengan istishab al-Bara’ah al-Ashliyyah (tetap berlakunya ketentuan sama sekali bebas dari kewajiban) atau Bara’ah al-‘Adam al-Asliyyah (tetapnya ketentuan sama sekali tidak ada kewajiban). Penggunaan istilah ini karena melihat dari segi tidak adanya kewajiban syara’ bagi seseorang, sampai ada dalil yang menunjukkan adanya kewajiban terhadap dirinya. sebagai contoh, seorang anak kecil tidak memiliki kewajiban syara’ (taklif), kecuali ia telah mencapai usia baligh (mukallaf).
b)      Istishab ma dalla asy-syar’ aw al-aql ‘ala wujudih (istishab terhadap sesuatu yang menurut akal atau syara’ diakui keberadaanya).
Contoh istishab bentuk kedua ini adalah, tetap berlakunya hak kepemilikan ketika ada sebabnya, misalnya karena akad, sampai ada alas an lain yag menghilangkan hak tersebut. Demikian juga, tetapnya tanggung jawab membayar utang, misalnya karena merusakkan barang orang lain, sampai ada bukti bahwa utang tersebut telah dibayar atau karena dibebaskan oleh yang berpiutang.
Contoh lainya, tetapnya wudhu setelah seseorang berwudhu, sampai terbukti bahwa wudhunya telah batal, misalnya karena buang angin. Karena itu, berdasarkan istishab, wudhu tidak batal hanya karena perasaan ragu-ragu tentang masih tetap atau batalnya wudhu seseorang.
c)      Istishab al-‘Umum ila an yarid at-takhshis (menetapkan hukum yang berlaku umum sampai ada yang mengkhususkanya).
Pada dasarnya semua ulama juga sepakat dengan istishab bentuk yang ketiga ini, karena konteks pembicaraan pada bentuk yang ketiga ini berkaita dengan waktu setelah datangnya syariat sampai berhentinya wahyu karena wafatnya Rasulullah saw. Persoalan yang timbul hanya berkaitan dengan perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang criteria yang harus dipenuhi untuk menyatakan suatu nashash bersifat ‘amm atau khashsh. Demikian juga perbedaan disekitar apakah suatu nashash dipandang tetap berlaku atau sudah di-naskh oleh dalil lain.
d)     Istishab al-khashsh bi al-washf (tetapnya suatu hukum yang secara khusus berkaitan dengan sifat).
Para ulama yang berbeda pendapat dalam menjadikan bentuk istishab yang keempat ini sebagai dalil syara’. Dalam hal ini ulama syafi’iah dan hanbaliyah secara mutlak menerimanya sebagai dalil syara’. Sedangkan ulama hanafiah dan Malikiah berpendapat, istishab bentuk ini hanya dapat menjadi dalil untuk menolak ketentuan hukum yang baru (shalih li ad-daf’i), tetapi tidak dapat menjadi dalil untuk menetapkan hukum yang baru (ghair shalih al-itsbat). Contohnya jika seorang laki-laki dinyatakan hilang dalam waktu yang lama (al-mafiud), maka pada masa hilangnya, ia tetap dinyatakan hidup, kecuali jika ada bukti yang menyatakan bahwa ia telah wafat atau pengadilan memutuskan bahwa ia telah dinyatakan wafat. Berdasarkan sifat hidupnya itu, haratanya tidak boleh dibagi-bagi sebagai harta warisan. Demikian juga istrinya, tidak boleh melakukan perkawinan dengan laki-laki lain, karena statusnya masih tetap sebagai istri laki-laki tersebut. Inilah yang disebut dengan istilah shalih li ad-daf’i artinya, menolak adanya ketentuan hukum baru (yaitu wafat) terhadap dirinya, sehingga hartanya tidak boleh dihukumkan sebagai harta warisan. Sebatas keduduan hukumnya ini, para ulama dari ke empat mazhab di atas masih sepakat. Akan tetapi, tentang apakah laki-laki yang hilang itu berhak mendapat warisan dari pewarisnya yang wafat ketika hilangnya, dan boleh ditetapkan sebagai penerima wasiat dari orang yang berwasiat ataukah tidak?Persoalan inilah yang disebut dengan istilah li al-itsbat.Artinya, melahirkan hukum baru yang berkaitan dengan hak mewarisi dan menerima wasiat.
Dalam pada itu, menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanbaliah, karena ia dinyatakan tetap hidup, maka sebagaimana hartanya tidak boleh dibagi sebagai harta warisan, maka ia juga dinyatakan tetap berhak untuk menerima warisan dan wasiat. Sementara menurut ulama’ hanafiyah dan malikiyah, laki-laki tersebut tidak berhak mendapat hak warisan dan wasiat selama hilangnya. Oleh karena itu, jika ia menjadi ahli waris daei orang yang wafat pada masa hilangnya, maka bagian warisannya ditangguhkan sampai jelas statusnya sebagai orang yang masih hidup untuk menerima warisan. Apabila pengadilan memutuskan bahwa ia telah wafat, maka harta warisan yang ditangguhkan itu dibagi dengan cara yang baru, yaitu berdasarkan ketentuan bahwa ia dipandang telah wafat ketika npawaris yang pertama meninggal dunia. Dengan demikian, harta warisan dibagi diantara ahli waris yang berhak menerima harta warisan ketika ia wafat. Sedangkan hartanya sendiri diwarisi oleh ahli waris yang masih hidup ketika ia wafat atau dinyatakan wafat oleh pengadilan.
Selanjutnya, berdasarkan prinsip al-istishab dan beberapa dalil lainnya, ulama’ merumuskan beberapa kaidah fikih sebagai berikut
1.      Pada dasarnya, tetap berlakunya hukum sesuatu sebagaimana adanya. Contoh kaidah ini, antara lain , kasus tentang orang yang hilang sebagaimana telah dikemukakan diatas.
2.      Pada dasarnya, segala sesuatu adalah boleh.
Berdasarkan kaidah ini, semua bentuk transaksi atau akad dalam bidng muamalah di pandang sah, selama tidak ada dalil syara yang menyatakannya batal atau fasad.
3.      Pada dasarnya, dalam masalah tanggung jawab, bebas dari kewajiban dan hak[10].



C.    Maslahah Mursalah
1.      Pengertian
Kata “maslahah” merupkan bentuk masdar dari kata kerja salahah dan saluha, yang secara etimologis berarti: manfaat, faedah, bagus, baik, patut, layak, sesuai. Dari sudut pandang ilmu saraf ((morfologi), kata “maslahah” satu wazn (pola) dan makna dengan kata manfaah. Kedua kata ini (maslahah dan manfaah) telah di indonesiakan menjadi “maslahat dan manfaat”.
Dalam bahasa Arab, kata maslahah, selain merupakan bentuk masdar juga merupakan ism, yang bentuk jamaknya adalah masalih.dalam kamus lisan al-arab disebutkan bahwa al-Maslahah, al-Salah, wa al-Maslahah wahidat al-Masalih (al-maslahah, al-salah, dan maslahah yang merupakan bentuk tunggal dari kata masalih yang berarti kebaikan).
Secara terminologis, al-maslahah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh allah untuk hamba-hambanya,baik berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri merreka, pemeliharaan kehormatan disri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun berupa pemeliharaan harta kekayaannya mereka.
Dengan mengacu kepada arti terminologis, para ulama ushul fiqh kemudian membuat kategorisasi al-maslahah. Dari segi tingkatan (peringkat) daruriyyat, al-Hajiyyat, dan al-Tahsiniyyat. Yang dimaksud al-Daruriyyat adalah al-Maslahah yang dikandung oleh segala perbuatan dan tindakan tidak boleh tidak, demi tegaknya kehidupan manusia di dunia. Yang dimaksud al-hajiyat adalah almaslahat yang di kandung oleh segala perbuatan dan tindakan demi mendatangkan kelancaran, kemudahan, dan kesuksesan bagi kehidupan manusia secara utuh menyeluruh. Sedangkan al-Tahsinyyat adalah al-Maslahah yang dikandung oleh segala perbuatan dan tindakan demimendatangkan keindahan, kesantunan, dan kemuliaan bagi kehidupan manusia secara utuh menyeluruh.
Dari segi pengakuan al-Syari’ atasnya, al-Maslahah dikategorisasi oleh ulama ushul fiqih menjadi 3 (tiga) macam pula yaitu, al-Maslahah al-Muqtabarah, al-Maslahah al- Mulgah dan al-Masalahah al-Mursalah.
Pertama al-Muslahan al-Mu’tabarah yakni al-Maslahah yang di akui secara eksplisit oleh syara’ dan di tentukan oleh dalil nas yang spesifik. Al-Maslahah ini disepakati para ulama karena merupa hujjah syar’iyyah yang falid dan otentik, sebagai contoh di dalam QS. Al- Baqarah (2) : 222 terdapat norma bahwa istri yang sedang menstruasi (haid) tidak boleh (haram) disetubuhi oleh suaaminya karena factor adanya bahaya penyakit yang ditimbulkan.
Kedua al-Maslahah al-Mulgah, yakni al-Maslahah yang tidak di akui oleh syara’ bahkan di tolak atau di anggap batil oleh syara’ sebagai contoh, opini hukum yang menyatakan porsi hak warisan perempuan dengan mengacu pada dasar pikiran semangat kesetaraan jender.
Ketiga Al-Maslahah al-Mursalah, yakni al-Maslahah yang tidak di akui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula di tolak dan di anggap batil oleh syara’, tetapi masih sejalan secara substantive dengan kaidah-kaidah hukum yang universal. Sebagai contoh, kebijakan hukum  perpajakan yang di tetapkan oleh pemerintah. Kebijakan demikian tidak di akui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula di tolak atau palsu oleh syara’. Akan tetapi, kebijakan tersebut berjalan secara substantive dengan kaidah hukum universal, yakni tasarruf al-imam ‘ala al-iyyah  manut-un bi al-maslahah. Dengan demikian kebijakan tersebut mempunyai landasan syar’iyyah yakni Maslahah Mursalah.
2.      Kedudukan Maslahah Mursalah
Kalangan ulama Malikiyyah dan ulama Hanafyyah berpendapat bahwa Maslahah Mursalah merupakan hujjah syara’iyyah dan dalil hukum islam[11].
Imam malik adalah imam madzahab yang menggunakan dalil maslahah mursalah. Untuk menerapkan dalil ini, ia mengajukan tiga syarat yg dapat difahami melalui definisi tersebut.
a)      Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syariat (Maqashid as-Syari’ah). Dengan adaanya persaratan ini, berarti maslahat tidak boleh menegasikan sumber dalil yang aiin, atau bertentangan dengan dalil yang qat’iy. Akan tetapi harus sesuai dengan maslahat-maslahat yang memang iingin diwujudkan oleh syari’. Misalnya, jenis maslahat itu tidak asing, meskipun tidakdi perkuat dengan adanya dalil khas.
b)      Maslahat itu harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, dimana seanndainya di ajukan kepda kelompok rasioanal akan dapat diterima.
c)      Penggunaan dalil maslahah ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang mesti terjadi (raf u haraj lazim). Dalam pengertian, seaindainya maslahat yang dapat diterima  akal itu tidak diambil, niscaaya manusia akan mengalami kesulitan. Allah berfirman:
$tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4 4
Artinya: dan dia tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.(QS. Al-hajj:78).
3.      Kehujjahan Maslahah Mursalah
Golongan Maliki sebagai pembawa bendera Maslahah Mursalah, sebagaimana telah disebutkan, mengemukakan tiga alasan sebagai berikut:
a.       Praktek para sahabat yang telah menggunakan Maslahat Mursalah, diantaranya:
1)      Sahabat mengumpulkan ala-Qur’an kebeberapa mushaf. Padahal hal ini tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah saw. Alasan yang mendorong mereka melakukan pengumpulan itu tidak lain kecuali semata-mata karena Maslahat, yaitu menjaga al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirnya karena meninggalkannya sejumlah besar hafidh dari generasi sahabat. Selain itu bukti nyata dari allah swt adalah:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Artinya: “sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”. (QS.al-hijr: 9).
2)      Khulafa ar-rasyidun menegaskan menanggung mengganti rugi kepada para tukang. Padahal menurut hukum asal, bahwasanya kekuasaan mereka didasarkan atas kepercayaan (amanah). Akan tetapi ternyata seandainya mereka tidak dibebani tanggug jawab mengganti rugi, mereka akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi kewajibannya untuk menjaga harta benda orang lain yang berada dibawah tanggung jawabnya.
3)      Umar bin khattab RA memerintahkan para penguasa (pegawai negri) agar memisahkan antara harta kekayaan pribadi dengan harta yang diproleh dalri kekuaaannya. Karena umar melia bahwa karena dengan cara itu para pegawai/penguasa dapat menunaikan tugasnya dengan baik, tercegah dari melakukan manipulasi dan mengambil harta glanimah (rampasan) ddengan cara yang tidak halal.
4)      Para sahabat menetapkan hukuman mati kepada semua anggota kelompok (jama’ah) lantaran membunuh satu orang jika mereka secara bersama-bersama melakukan pembunuhan tersebut, karena mereka kemaslahatan menghendakinya. Alasanya, orang yang dibunuh adalah ma’sum (terpelihara) darahnya, sementara ia telah dibunuh dengan sengaja. Seandainya kita berpendapat bahwa sekelompok orang (jama’ah) tidak dikenakan hukuman mati dengan membunuh satu orang, maka dalam kasus semacam itu menumpahkan darah seseorang oleh orang banyak sama artinya dengan menghindarkan dari hukuman qishas. Sebab untuk melakukan pembunuhan terhadap satau orang, cukup bisa dilakukan oleh dua orang. Maka setiap orang yang ingin selamat dari sangsi hukuman qishas ia bisa melakukan pembunuhan bersama orang lain (cukup berdua), dan keduanya terbatas dari sanksi hukuman tersebut, sementara lawanya mati terbunuh. Oleh karena itu kemaslahatan mendorong untuk diterapkanya hukuman mati terhadap seluruh anggota kelompok (jama’ah) hanya karena membunuh satu orang dibunuh di daerah Shan’a, kemudian Umar membunuh mereka semuanya dan berkata “seandainya seluruh penduduk shan’a bersama-sama membunuhnya, niscaya aku bunuh semua” lihat al-I’tisham, juz 2, hlm. 287-302.
b.      Adanya maslahat sesuai dengan maqasid as-syari’ (tujuan-tujuan syari’), artinya dengan mengambil maslahat berarti sama artinya dengan merealisasikan maqasid as-syari’. Sebaliknya mengesampinkan maslahat berarti mengesampingkan maqasid as-syari’. Sedangkan mengesampingkan maqasid as-syari’ adalah batal. Oleh karena itu wajib menggunakan dalil maslahat atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri.
c.       Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat selama berada dalam konteks maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan. Allah berfirman:
$tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4 4
Artinya: “dan dia tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.(QS. Al-Hajj: 78)
Firman allah yang lain:
߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#  ÇÊÑÎÈ
Artinya: “allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.(QS. Al-baqarah : 185).
Demikian alasan-alasan yang yang dikemukakan oleh imam malik.[12]














BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sumber dan dalil hukum yang tidak disepakati al-Istihsan, al-Istishab, dan Maslahah Mursalah. , istihsan adalah meninggalkan kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberikan rukhsan karena berbeda hukumnya dalam beberapa hal. Dan Istishab adalah mengukuhkan berlakunya sutu hukum yang telah ada, atau menegasikan sutu hukum yang memang tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang mengubah keadaan tersebut. Sedangkan al-Maslahah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh allah untuk hamba-hambanya,baik berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri merreka, pemeliharaan kehormatan disri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun berupa pemeliharaan harta kekayaannya mereka. Adapun kehujjahan ketiganya adalah pertama kehujjahan istihsan  terbagi menjadi dua, yaitu pertama kelompok yang berpendapat bahwa Istihsan adalah dalil syara’, Sedangkan kelompok kedua yang menolak penggunaan Istihsan sebagai dalil syara’. Dan kehujjahan istishab terbagi menjadi dua yaitu, syara’ dan logika. Sedangkan kehujjahan Maslahah Mursalah terbagi menajdi tiga yaitu: praktik para sahabat, adanya maslahat sesuai dengan maqasid as-syari’, dan tanpa adanya maslaha mursalah para mukalaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.

B.     Saran
Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami dari penyusun makalah ini sangat mengharapkan kritik, saran,dan masukan dari pembaca dan dosen pembimbing agar makalah ini jadi lebih sempurna. Dan semoga makalah ini membawa manfaat dan Barokah bagi para pembaca.





DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2011.
Dahlan, Abdul Rahman, Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2014.
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh. Jakarta: pustaka Firdaus. 2012.



[1]  Al-Sarakhsi, al-Mabsut,(Mesir:Matba’ah al-Sa’adah, 1321 H), Juz ke-10, hlm. 145.
[2]  Ini sebagaiman dikutip dari al-Syathibi, al-Muwafaqat  fi Usul al-Syari’ah, (Beirut; Dar al-Fikr,1990), Juz ke-2, hlm. 140.
[3] Husain Hamid Hissan, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamiy,(Beirut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1971), hlm. 250.
[4]  Husain Hamid Hassan, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamiy, hlm. 250.
[5]  Husain Hamid Hassan, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamiy, hlm. 250-251.
[6]  Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Usul al-Fiqh, hlm. 251.
[7]  Husain Hamid Hassan, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamiy, hlm. 597-599.
[8] Muhammad bin Idris al-Syafi’I (selanjutnya disebut al-Syafi’i), kitab al-Rusalah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), hlm.503-505. Dan al-Syafi’I, Kitab al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikr,1980), Juz ke-7, hlm.314.
[9]  Wahbah az-Zuhaili, al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami, ttp. Dar al-Kitab, 1977, hlm.285.
[10]  Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A. ushul  Fiqh. (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 217-224.
[11] Asmawi,perbandingan ushul fiqh,127-130
[12] Muhamad abu zahrah,ushu fiqih,427-431

Tidak ada komentar:

Posting Komentar